Sabtu, 17 Desember 2011

HUKUM DOA BERSAMA DENGAN NON MUSLIM


Dalam kehidupan sehari-hari baik di masyarakat, instansi, sekolah ataupun dalam wilayah yang lain ada trend doa bersama. Mereka merasa injoy dan seolah lebih mantab melaksanakannya di banding doa yang dilakukan sekelompok homogeny agama dan keyakinan. Kegiatan ini menimbulkan pertanyaan dikalangan umat Islam terkait status HUKUMnya. MUI merasa terpanggil untuk mengkaji dan akhirnya mengeluarkan fatwanya.
Sebenarnya dalam praktek umat Islam dalam berdoa sudah melakukannya bersama-sama sejak dahulu kala bahkan sejak tabiin hingga sekarang. Doa adalah suatu bentuk kegiatan berupa permohonan manusia kepada Alloh SWT semata. Hal ini dimuat dalam Al_Quran Surah;An-Naml ayat 62.
أَمَّن يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ ۗ أَإِلَٰهٌ مَّعَ اللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ ﴿٦٢﴾
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).”
Juga dalam Surah Al-Mu’min ayat 60
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ ﴿غافر : ٦۰﴾
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".
Alloh memerintahkan hamban-Nya untuk berdoa. Oleh karena itu doa adalah suatu ibadah yang diperintahkan. Doa adalah inti dari ibadah. Maka dala berdoa ada kaifiat/cara yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW. Singkatnya dalam berdoa harus mengikuti apa yang telah digariskan oleh ajaran Islam.
Doa bersama yang memang digelar untuk tujuan melaksanakan doa pada waktu yang sama, tempat yang sama, permohonan kepentingan yang sama di dalam Islam tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat salafus shalih.
Dalam hal berdoa ada hal yang terpenting yaitu berdoa itu hanya kepada Alloh SWT, Allohlah yang memiliki semuanya yang ada di langit dan bumi. Sehingga kalau memohon kepada selain pemiliknya maka tentu tidak akan diperbolehkan. Sehingga dala berdoa adalah menyangkut aqidah. Aqidah adalah hal yang fundamental. Bila aqidahnya benar maka benar pula akibatnya tetapi bila aqidahnya salah maka salah pula kelanjutannya.
Maka dalam hal berdoa bersama ini dipertanyakan hokum dan kedudukannya menurut syar’i. Untuk itu MUI mengeluarkan fatwa antara lain.
Pertama: Doa bersama yang dilakukan oleh orang Islam dan Non Muslim tidak dikenal dala Islam
Karenanya hal itu termasuk bid’ah
Kedua : doa bersama dalam bentuk setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran , maka Islam orang Islam haram mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin oleh non muslim.
Mengapa haram mengamini doa orang non muslim? Karena menurut MUI mengamini sama dengan ia berdoa kepada tuhannya non muslim. Menurut Al-Quran aqidah mereka berbeda dengan aqidah orang muslim. Hal ini diterangkan dalam Surah al-Maidah ayat: 73.
لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِن لَّمْ يَنتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿المائدة : ٧٣﴾
Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.
Ketiga :
Doa bersama dalam bentuk muslim dan non muslim berdoa secara serentak ( misalnya mereka membaca teks doa bersama), hukumnya haram. Artinya orang islam tidak boleh melakukannya. Doa semacam ini dipandang telah mencampur adukkan antara ibadah (doa) yang haq(sah/benar) dengan ibadah yang batil. Hal ini dilarang dalam QS Al-Baqarah:42:
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿البقرة : ٤٢﴾
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
Keempat:
Doa bersama dalam bentuk non Muslim memimpin doa. Dalam doa bersama seperti ini,orang muslim dilarang mengikuti dan mengamininya.
Kelima:
Doa bersama dalam bentuk tokoh Islam memimpin doa. Doa bersama dalam bentuk ini hukumnya mubah.
Keenam:
Doa dalam bentuk setiap orang berdoa menurut agamanya masing-masing. Hukumnya juga mubah.
Selengkapnya...

Kamis, 15 September 2011

HUKUM SHOLAT QADHA

SHALAT QADHA
Disunting oleh: Asep Rahmat Fauzi(2)

Makalah ini disampaikan atas pertanyaan saudara Rahman Fahrudi.
A. Pendahuluan
Shalat dalam Islam, mempunyai arti dan fungsi yang sangat strategis untuk pembinaan mental dan akhlaq al karimah. Karenanya shalat merupakan ibadah yang paling pokok dalam Islam. Shalat merupakan amal perbuatan yang pertama kali diperiksa sebelum amal-amal yang lain (HR. al Thabraniy). Shalat suatu amalan yang harus dilakukan secara kesinambungan. Orang hidupnya akan stabil ketika melakukan shalat secara berkesinambungan (Q.S al Ma’arij: 23). Dengan melakukan shalat berarti menyiapkan dalam diri penangkal dari berbuat yang tidak baik dalam kehidupan (Q.S. al Ankabut: 45).
Shalat pula lah yang menjadi pembeda antara orang mukmin dan orang kafir (HR. Muslim, Abu Daud dan Ahmad). Dengan memelihara shalat, seseorang bisa mendapatkan lima kemuliaan (1) dihilangkan dari penghidupan yang sempit (2) dibebaskan dari siksa kubur (3) diberikan kepadanya di hari masyhar surat amalan, dari sebelh kanannya (4) diberikan kesanggupan berlalu di atas titian dengan kecepatan kilat (5) di masukan ke dalam syurga tanpa hisab. Sebaliknya, barang siapa yang meninggalkan shalat, niscaya Allah akan menyiksanya dengan beberapa siksaan (1) dihilangkan keberkatan dari umurnya (2) dihilangkan tanda keshalihan dari mukanya (3) tidak dibalas dengan pahala amalan-amalan yang dia lakukan (4) tidak diangkat do’a-doanya ke langit (5) tidak memperoleh doa dari –orang-orang yang shalih (5) mati dalam penuh kehinaan (6) dinyalakan api jahannam di dalam kuburnya (7) dikirim ular didalam kuburnya (8) menderita kemarahan Allah swt (9) dimasukan kedalam neraka.
B. Pembahasan
Dalam mengurai mesalah ini (shalat qadha) perlu kita lihat terlebih dahulu hadits-hadits yang memang terkait dengan pembahasan. Ada beberapa hadits yang bisa menjadi bahan rujukan untuk mengurai masalah ini. Hadits-hadits tersebut antara lain:
عَن مُعَاذَةَ قَالَت سَأَلتُ عَائِشَةَ فَقُلتُ مَا بَالَ الـحَائِضُ تُقضَي الصَومُ وَلاَ تُقضَي الصَلاَةُ فَقَالَت أَحُرُورِيَّةٌ أَنتَ قُلتُ لَستُ بِحُرُورِيَّةٍ وَلَكِنيِّ أَسأَلُ قَالَت كَانَ يُصِيبَنَا ذَلِكَ فَنُؤمَرُ بِقَضَاءِ الصَومِ وَلاَ نُؤمَرُ بِقَضَاءِ الصَلاَةِ ( رواه مسلم 1: 265)
Artinya: Dari Mu’adzah, “dia bertanya kepada Aisyah r.a: apa (sebab) keadaan orang yang haidh diwajibkan meng-qadha shaum akan tetapi tidak diwajibkan mengqadha shalat. Aisyah bertanya: “Apakah kamu orang yang minta dibebaskan (dari kewajiban)? Dia menjawab: tidak, saya hanya bertanya. Aisyah menjelaskan, seperti itulah kondisi kita, kita diperintahkan meng-qadha shaum, tetapi tidak disuruh meng-qadha shalat” (H.R muslim)

عَن بُرَيدَةَ قَالَ, قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِنَّ العَهدَ الَّذِي بَينَنَا وَبَينَهُم الصَّلاَةُ فَمَن تَرَكَهَا فَقَد كَفَرَ (رواه ابن حبان 4: 305)
Artinya: Dari Buraidah, dia berkata : “Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya jaminan (yang menyelamatkan) antara kita (orang Islam) dengan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkan shalat dia kufur” (H.R. Ibnu hibban)
عَن أَبِي هُرَيرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم حِينَ قَفلٍ مِن غَزوَةِ خَيبَرٍ......وَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَقَامَ الصَّلاَةَ فَصَلىَّ بِهِم الصُبحَ فَلَمَّا قَضَى الصَلاَةَ قَالَ مَن نَسِيَ الصَلاَةَ فَليُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللهَ قَالَ ! < وَأَقِم الصَّلاَةَ لِذِكرِي > (رواه مسلم 1: 471)
Artinya: “Dari Abu Hurairah sesungghnya Rasulullah saw ketika dalam kondisi perang khaibar ……. Rasulullah saw memerintahkan BIlal adzan lalu Rasulullah saw shalat shubuh berjama’ah bersama para sahabat. Ketika sudah selesai beliau bersabda: barangsiapa lupa akan shalat, maka shalatlah ketika dia ingat akan (belum menunaikan) shalat, sebab Allah swt berfirman: dan dirikanlah shalat untuk mengingatku” (HR. Muslim)
عَن أَبِي سَعِيدٍ قَالَ حُبِسنَا يَومَ الـخَندَقِ عَنِ الصَلَوَاتِ حَتىَّ كاَنَ بَعدَ الـمَغرِبِ هَوِيًّا وَذَلِكَ قَبلَ أَن يُنَزَّلَ فِي القِتَالِ مَا نُزِلَ فَلَمَّا كَفَينَا القِتَالُ وَذَلِكَ قَولُهُ {وَكَفَى اللهُ المـُؤمِنِينَ القِتَالَ وَكاَنَ اللهُ قَوِيًّا عَزِيزًا } أَمَرَ النَِّبيُّ صلى الله عليه وسلم بِلاَلاً فَأَقَامَ الظُهرَ فَصَلاَهَا كَمَا يُصَلِّيهَا فِي وَقتِهَا ثُمَّ أَقَامَ العَصرِ فَصَلاَهَا كَمَا يُصَلِّيهَا فِي وَقتِهَا ثُمَّ أَقَامَ الـمَغرِبَ فَصَلاَهَا كَمَا يُصَلِّيهَا فِي وَقتِهَا (رواه احمد 17: 293)
Artinya: “Dari Abu sa’id, dia berkata: Perang khandaq telah menyibukan kita dari shalat. Sampai separuh waktu maghrib datang baru kelonggaran waktu datang (kondisi ini terjadi ketika belum diturunkan perintah shalat khauf), lalu nabi memerintahkan Bilal adzan dan beliau shalat berjamaah dhuhur sebagaimana biasanya dhuhur dilakukan pada waktunya. Kemudian beliau mengerjakan shalat ashar sebagaimana biasanya ashar dilakukan pada waktunya. Kemudian beliau mengerjakan shalat maghrib sebagaimana biasanya maghrib dilakukan pada waktunya.” (HR. Ahmad)

Shalat yang dilakukan oleh umat muslim merupakan salah satu ibadah mahdah (ibadah wajib yang pelaksanaannya (tatacara dan argumentasinya) bersumber kepada keterangan Rasulullah saw). Oleh sebab itu, pembahasan mengenai shalat, termasuk shalat qadha hendaklah di sandarkan kepada keterangan-keterangan yang shahih (maqbul) yang berasal dari Nabi saw.
Dalam kasus orang meninggalkan shalat ada beberapa kondisi yang bisa menjadi latar belakang orang meninggalkan shalat. Kondisi tersebut adalah: (1) meninggalkan shalat karena ada udzur (2) meninggalkan shalat karena lupa (3) meninggalkan shalat karena malas.
Untuk kasus yang pertama, ada beberapa kondisi yang masuk kategori udzur, pertama wanita haidh dan dalam kondisi peperangan. Untuk wanita haidh, berdasar keterangan hadits dari aisyah r.a di atas maka tidak ada kewajiban untuk mengganti shalat di kemudian hari setelah wanita tersebut selesai masa haidhnya. Artinya, waktu-waktu shalat yang terlewati semasa haidh tidak usah diganti setelah wanita tersebut bersuci. Sedangkan untuk kondisi yang kedua, kewajiban shalat tidaklah menjadi hilang dikarenakan kesibukan berperang. Yang menjadi berbeda hanyalah waktu pelaksanaannya. Bahkan ketika shalat khauf (pelaksanaan shalat ketika kondisi genting) dituntunkan, shalat wajib yang lima di kerjakan tetap pada waktunya walaupun dalam tatacara pelaksanaannya berdeda.
Untuk kasus kedua (shalat karena lupa), kewajiban shalat tidaklah gugur, melainkan penunaian (menyelesaikan kewajiban) dilakukan setelah ingat. Yang masuk kategori ini adalah orang yang lupa (dalam makna sebenarnya) atau pula orang yang tidur dan pingsan. Keterangan orang yang tidur bisa dirujuk kepada tulisannya Ibnul Qayyim dalam kitab as sholah. Artinya seberapa lama pun orang itu lupa, tertidur atau pun pingsan, ketika dia terbangun, sadar ataupun ingat maka kewajiban shalat itu ada. Ada pun pelaksanaannya diurutkan saja dari awal dia tidak mengerjakan shalat.
Untuk kasus ketiga, penulis harap difahami betul kondisinya. Seseorang yang meninggalkan shalat karena malas, tentulah perbuatan yang disengaja, artinya ada kesadaran dalam meninggalkannya. Sangat berbeda kondisi ketiga ini dengan kondisi yang kedua. Sehingga langkah solusi untuk kondisi ketiga ini berbeda dengan solusi untuk kondisi kedua. Memang untuk kondisi ketiga ini tidak ada kewajiban untuk meng-qadha shalat karena dia meninggalkan shalat dengan adanya kesadaran. Akan tetapi justru kondisi ketiga inilah sebuah dosa besar yang tentunya akan mendatangkan murka/adzab dari Allah swt (ataupun kondisi-kondisi orang yang meninggalkan shalat yang telah penulis paparkan dalam pembukaan). Sehingga ketika seseorang ingin memperbaiki sikap langkah pertama yang harus dilakukan adalah taubatan nasuha. Adapun langkah-langkah taubatan nasuha adalah (1) menghentikan perbuatan dosanya (meninggalkan shalat dengan sengaja) (2) mengakui perbuatan meninggalkan shalat itu adalah perbuatan dosa besar (3) melakukan amalan-amalan kebaikan (amalan pertama-tama yang dilakukan tentulah beristighfar memohon ampun kepada Allah swt dan melakukan shalat taubat) dengan berniat memperbaiki sikap buruk yang selama ini dilakukan.

C. Penutup
Istilah shalat qadha dikalangan masyarakat sangatlah beragam pemaknaanya. Sehingga berdampak kepada pelaksanaannya. penulis yakin betul setiap orang ketika melakukan sebuah amalan (ibadah) tentulah memiliki niat yang baik dan tentunya amalan tersebut diperuntukan sebagai tabungan amal yang akan menjadi bekal untuk dikehidupan yang akan datang (yaumul akhir). Akan tetapi niat baik saja tidak cukup ketika kita berbicara tentang ibadah mahdoh. Ada intrumen lain yang harus di penuhi, yaitu landasan/dalil-dalil yang bisa dijadikan pijakan/argumentasi sehingga ibadah yang kita lakukan memiliki nilai sebuah amalan yang diterima disisi Allah swt.
Terkait dengan pembahasan shalat qadha, mari kita posisikan (dengan hati yang jernih, bukan mencari legalitas di mata manusia, Karena Allah swt yang Maha mengetahui) shalat yang tertinggal itu pada kasus yang mana?? Janganlah malu atau putus asa ketika memang shalat yang tertinggal itu terjadi karena sikap malas. Tempuhlah jalan pertaubatan. Karena bertaubat merupakan sebuah upaya menghapus dosa. Begitu pula untuk kondisi yang lain, maka tunaikanlah semuanya berdasarkan keterangan-keterangan yang Rasulullah saw ajarkan. Wallahu a’lam bi shawab.


1)Disarikan dari fatwa-fatwa tarjih: Tanya Jawab Agama jilid 3 suara muhammadiyah, thn. 2004
2)Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Pimpinan Pusat Muhammadiyah
3)Pedoman Shalat, tengku Muhammad hasbi al Shiddiqiy, hlm 401

Selengkapnya...

Jumat, 29 Juli 2011

SHALAT GERHANA

SHALAT GERHANA
Shalat gerhana atau yang dalam bahasa arab disebut dengan dua kata yaitu (kusuf dan khusuf) yaitu shalat karena adanya gerhana. Baik karena gerhana matahari atau gerhana bulan. Secara bahasa kusuf artinya menghilangnya seluruh cahaya (matahari dan bulan) atau sebagian dan menjadi hitam. Dan khusuf merupakan sinonim dari kata kusuf. biasa di gunakan untuk gerhana matahari sedangkan khusuf di gunakan untuk gerhana bulan . Namun hadis nabi tidak membedakan di antara keduannya.
Shalat gerhana adalah shalat yang di kerjakan dengan tata cara yang khusus ketika terjadi gerhana matahari atau bulan baik total maupun sebagiannya.
Hukum shalat gerhana
Jumhur Ulama berpendapat bahwa shalat gerhana matahari adalah sunnah muakkadah. Abu ‘Awwanah bahkan menegaaskan kewajibannya, berdasar riwayat dari Abu Hanifah. Dari Malik beliau menyamakan seperti shalat jumat. Pendapat yang mewajibkan ini dikuatkan oleh asy-Syaukani dan al-Bani.
Sementara untuk gerhana bulan Ulama berbeda pendapat tentang hukumnya.
Pertama, sunnah Muakkad dan di lakukan seperti gerhana matahari. Pendapat ini merupakan madzhab dari asy-Syafi’I, Ahmad, Dawud dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga di kemukakan ‘Atha, al-Hasan, an-Nakha’I, Ishaq. Pendapat ini di dasarkan oleh hadis ini:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ، وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Tidaklah keduanya mengalami gerhana karena kematian seseorang atau karena lahirnya seseorang. Jika keduanya mengalami gerhana, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga gerhana selesai….:” (HR. Bukhari-Muslim)
Kedua, tidak dikerjakan dengan berjamaah. Shalat ini dikerjakan seperti shalat-shalat sunnah lainnya tanpa adanya tambahan ruku’. Pendapat ini adalah dari Abu hanifah dan Malik. Alasanya adalah karena adanya kesulitan (masyaqqah) mengerjakannya pada malam hari pada umumnya, dan tidak ada kesulitan mengerjakan pada siang hari. Kemudian juga tidak pernah di nukil dari Nabi SAW bahwa beliau mengerjakannya secara berjamaah padahal gerhana bulan lebih banyak terjadi di bandingkan gerhana Matahari.
Waktu shalat gerhana
Waktu shalat gerhana di mulai pada saat gerhana mulai terjadi sampai gerhana selesai. Berdasarkan hadis di bawah ini;
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ
“jika kalian melihat keduanya mengalami gerhana maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah hingga gerhana selesai. (HR. Bukhari – Muslim)
Kemudian berakhirnya waktunya apabila matahari sudah tersingkap seluruh nya. Jika matahari tersingkap sebagian saja maka masih diperbolehkan untuk melakukan shalat pada waktu tersebut.
Hal-hal yang dianjurkan bagi orang yang melihat gerhana
• Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, shadaqah dan semua amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:

فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

“jika kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah dan bersedekahlah”. (HR. Bukhari – Muslim)
Diriwayatlkan dari Asma’, ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan untuk membebaskan budak pada saat gerhana matahari”. (HR. Bukhari)
• Bergegas ke masjid untuk melaksanakan shalat gerhana. Berdasarkan hadis :
Dalam hadis Aisyah disebutkan: “kemudian pada suatu pagi Rasulullah Saw mengendarai kendaraanya, lalu terjadilah gerhana matahari, lantas beliau kembali pada waktu dhuha. Rasulullah saw lewat di ruangan masjid lalu mengerjakan shalat…..(HR. Bukhari – Muslim)

Dalam riwayat muslim dari Aisyah: kemudian aku keluar bersama beberapa orang wanita di ruangan masjid, lalu Rasulullah SAW tiba dari perjalanannya lalu menuju tempat shalat di mana beliau biasa mengerjakan di tempat tersebut”. (HR. Muslim)

Dalam Fath al-Bari Al-hafidz mengatakan: “Rasulullah SAW pergi disebabkan karena wafatnya putra beliau yang bernama Ibrahim. Ketika beliau kembali, beliau menuju masjid, dan di belum melaksanakan shalat. Jadi benarlah bahwa yang disunnahkan dalam shalat gerhana adalah dikerjakan di masjid. Seandainya tidak disunnahkan demikian, tentunya shalat ditanah lapang itu lebih baik, karena dapat melihat berakhirnya gerhana.
• Wanita juga disunnahkan melaksanakan shalat gerhana di masjid.
Dari Asma’ berkata; Aku mendatangi Aisyah, Istri Rasulullah SAW ketika terjadi gerhana matahari. Ternyata aku melihat orang-orang mengerjakan shalat dan Aisyah pun ikut mengerjakan shalat juga. (HR. Bukhari – Muslim)

Tata cara Shalat gerhana
Dimulai dengan menyeru “Ash-Shalatu Jami’ah tanpa adanya adzan dan iqamah. Berdasarkan hadis:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ * اِنْكَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ نُوْدِيَ الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي سَجْدَةٍ ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي سَجْدَةٍ ثُمَّ جَلَسَ حَتَّى جَلَّى عَنِ الشَّمْسِ

Dari Abdullah bin ‘Amr berkata; Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW kemudian diserukanlah: “Ash-Shalatu Jami’ah maka ruku’lah beliau dengan dua ruku’ dalam satu rakaat kemudian berdirilah beliau lalu ruku’ dengan dua ruku’ dalam rakaat berikutnya kemudian beliau duduk hingga matahari selesai (Nampak) .( HR. Bukhari-Muslim)
Shalat dua rakaat. Pada setiap rakaat dua kali berdiri, dua kali bacaan, dua kali ruku’ dan dua kali sujud. Jadi shalat ini di lakukan dua rakaat, 4 ruku’, 4 sujud dimana setiap rakaat terdiri dari 2 ruku’ dan 2 sujud. Pendapat ini adalah madzhab malik, Syafi’I dan Ahmad. Berdasarkan hadis di bawah ini:

Dari Ibnu Abbas ra. Berkata: terjadi gerhana matahari pada Zaman Rasulullah SAW, lalu beliau shalat dan orang-orang mengikuti beliau. Kemudian beliau berdiri dalam waktu yang sangat panjang sepanjang sekitar bacaan al-baqarah. Kemudian beliau ruku’ dengan ruku’ yang sangat panjang. Kemudian beliau berdiri cukup panjang, namun lebih pendek dari pada yang pertama. Kemudian beliau ruku’ dengan ruku’ yang cukup panjang, namun lebih pendek daripada ruku’ yang pertama.( HR. Bukhari-Muslim)
عَنْ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّى بِالنَّاسِ فَأَطَالَ الْقِرَاءَةَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَأَطَالَ الْقِرَاءَةَ وَهْيَ دُونَ قِرَاءَتِهِ الأُولَى ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ دُونَ رُكُوعِهِ الأَوَّلِ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثمَّ قَامَ فَصَنَعَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَامَ فَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ، وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ يُرِيهِمَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
Dari Aisyah ra berkata: terjadi gerhana matahari pada Zaman Rasulullah SAW, lalu beliau shalat dan orang-orang mengikuti beliau. Kemudian beliau berdiri dalam waktu yang sangat panjang sepanjang sekitar bacaan al-baqarah. Kemudian beliau ruku’ dengan ruku’ yang sangat panjang. Kemudian beliau berdiri cukup panjang, namun lebih pendek dari pada yang pertama. Kemudian beliau ruku’ dengan ruku’ yang cukup panjang, namun lebih pendek daripada ruku’ yang pertama kemudian mengangkat kepalanya lalu sujud dengan dua sujud kemudian berdiri kerakaat kedua seperti yag beliau lakukan pada rakaat pertama. Kemudian beliau berdiri (berkhutbah) : sesunggunya Matahari dan Bulan tidaklah keduanya mengalami gerhana karena kematian seseorang ataupun karena kehidupan seseorang akan tetapi keduanya merupakan dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang Allah perlihatkan kepada Hambanya. Maka apabila kalian melihatnya maka bergegaslah untuk shalat.( HR. Bukhari-Muslim)
Dari hadis di atas bahwa pelaksanaan shalat gerhana sebagai berikut:
o Takbiratul Ihram
o Membaca surat al-Fatihah dan surat yang panjang
o Ruku’ yang panjang dari biasanya
o I’tidal dengan mengucapkan sami’allahu liman hamidah
o Membaca surata al-Fatihah lagi dan surat yang panajang tapi lebih pendek dari yang pertama.
o Ruku’ yang panjang tapi lebih pendek dari yang pertama
o I’tidal dengan mengucapkan sami’allahu liman hamidah
o Sujud seperti biasa tapi lama
o Berdiri menuju rakaat kedua dan di lakukan seperti cara yang dilakukan pada rakaat pertama dengan bacaan yang lebih pendek dari yang pertama, kemudian salam
Kemudian khutbah singkat menyampaikan bahwa kejadian gerhana merupakan sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah SWT yang diperlihatkan kepada manusia berdasarkan hadis di bawah ini:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالنَّاسِ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ قَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ وَهْوَ دُونَ الْقِيَامِ الأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهْوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأَوَّلِ ثمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ ثُمَّ فَعَلَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الأُولَى ثُمَّ انْصَرَفَ وَقَدِ انْجَلَتِ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ، وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا ثُمَّ قَالَ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ مَا مِنْ أَحَدٍ أَغْيَرُ مِنَ اللهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ ، أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا.

Dari Aisyah ra berkata: Terjadi gerhana matahari pada Zaman Rasulullah SAW, lalu beliau shalat bersama dengan orang-orang. Beliau berdiri dalam waktu yang sangat panjang. Kemudian beliau ruku’ dengan ruku’ yang sangat panjang. Kemudian beliau berdiri cukup panjang, namun lebih pendek dari pada yang pertama. Kemudian beliau ruku’ dengan ruku’ yang cukup panjang, namun lebih pendek daripada ruku’ yang pertama. Kemudian sujud dengan memanjangkan sujudnya kemudian beliau kerjakan pada rakaat kedua seperti yag beliau lakukan pada rakaat pertama. Lalu selesailah beliau dan sungguh matahari pada waktu itu telah terang. Kemudian (berkhutbah) pada manusia, memuji dan menyanjung Allah SWT : Sesungguhnya Matahari dan Bulan tidaklah keduanya mengalami gerhana karena kematian seseorang ataupun karena kehidupan seseorang. Jika kalian melihatlah maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalatlah dan bersedekahlah.( HR. Bukhari-Muslim)
Abu Hanifah, Malik dan Ahmad berpendapat, tidak ada khutbah dalam shalat gerhana. Sebagian dari mereka mengatakan sesungguhnya Nabi SAW tidak bermaksud untuk berkhutbah secara khusus. Beliau hanyalah ingin mengemukakan bantahan terhadap kalangan yang meyakini bahwa gerhana terjadi karena kematian seseorang. Namun, pendapat ini terbantahkan dengan apa yang disebutkan dalam hadis-hadis shahih yang menegaskan adanya khutbah dan penuturan tentang syarat-syarat khutbah berupa pujian dan sanjungan kepada Allah SWT, nasehat dan selainya yang terkandung dalam hadis-hadis tersebut.
Wallahu A’lam Bishawaab
Selengkapnya...

TUNTUNAN IBADAH PADA BULAN RAMADHAN

Disusun Oleh:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

A. Persiapan
1. Dituntunkan agar setiap Muslim dan Muslimah mempersiapkan diri pribadi baik secara lahir maupun batin, dan memperbanyak melakukan puasa sunat di bulan Sya‘ban, berdasarkan hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا قَالَتْ ... مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ. [متفق عليه].
Artinya: “Dari ‘Aisyah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: ... Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadhan. Juga saya tidak pernah melihat beliau banyak berpuasa kecuali di bulan Sya‘ban. [Muttafaq ‘Alaih].
Melakukan pengkondisian Ramadhan pada bulan Sya‘ban di lingkungan masyarakat, rumah dan masjid-masjid dengan memperbanyak informasi dan kajian tentang Tuntunan Ibadah Ramadhan.
2. Mempersiapkan sarana dan prasarana kegiatan di bulan Ramadhan, seperti sound system yang memadai, mempersiapkan dan membersihkan tempat wudhu, air wudhu, kotak-kotak infaq, peralatan ta‘jil, dan lain-lain.
3. Kebersihan, baik di dalam masjid maupun di lingkungan sekitarnya.
4. Pengaturan shaf dan keamanan
5. Jadwal mu'adzin, imam, penceramah dan penjemputannya.
6. Mempersiapkan tempat shalat ‘Idul Fitri, Imam/Khatib dan penjemputannya.
7. Membentuk ‘Amil Zakat, untuk memungut dan membagikannya serta mempersiapkan peralatannya.

B. Tuntunan Shiyam
1. Pengertian Shiyam (Puasa)
a. Shiyam menurut bahasa: menahan diri dari sesuatu.
b. Shiyam menurut istilah: menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual suami isteri dan segala yang membatalkan sejak dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat karena Allah.
Dasar keharusan niat berpuasa karena Allah:
1) Firman Allah SWT:
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ ... [البينة (98): 5].
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus …” [QS. Al-Bayyinah (98): 5].
2) Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اَ ْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى... [أخرجه البخاري، كتاب الإيمان].
Artinya: “Dari Umar r.a. (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda: Semua perbuatan ibadah harus dengan niat, dan setiap orang tergantung kepada niatnya …” [Ditakhrijkan oleh Al-Bukhariy, Kitab al-Iman].
3) Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ حَفْصَة أُمِّ اْلمُؤْمِنِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ. [رواه الخمسة، الصنعاني، 2، 153].
Artinya: “Dari Hafshah Ummul Mu'minin r.a. (diriwayatkan bahwa) Nabi saw bersabda: Barangsiapa tidak berniat puasa di malam hari sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” [Ditakhrijkan oleh Al-Khamsah, lihat Ash-Shan‘aniy, II, 153].
2. Jumlah Hari Shiyam (Puasa)
a. Shiyam dimulai pada tanggal 1 bulan Ramadhan dan diakhiri pada tanggal terakhir bulan Ramadhan (29 hari atau 30 hari, tergantung pada kondisi bulan tersebut). Untuk itu, maka harus mengetahui awal bulan Ramadhan.
b. Dasar keharusan mengetahui awal bulan Ramadhan:
1) Firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ. [يونس (10): 5].
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” [QS. Yunus (10): 5]
2) Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ. [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Puasalah karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya, apabila kamu terhalang penglihatanmu oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari.” [HR. al-Bukhari, dan Muslim].
3) Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلاَلَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلاَلُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُوْمُوْا غَدًا. [رواه ابن حبان والدارقطنى والبيهقى والحاكم].
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Datanglah seorang Badui kepada Nabi saw seraya katanya: Saya telah melihat hilal. Beliau bersabda: Maukah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah? Ia berkata: Ya. Nabi saw bersabda: Maukah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah? Ia berkata: Ya. Bersabdalah Nabi saw: Hai Bilal, umumkanlah kepada semua orang supaya mereka besok berpuasa.” [HR. Ibnu Hibban, Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim].
4) Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ. [رواه الشيخان والنسائى وابن ماجه]
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. dari Rasulullah saw, (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Bila kamu melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan bila kamu melihatnya maka berbukalah (berlebaranlah). Dan jika penglihatanmu tertutup oleh awan maka kira-kirakanlah bulan itu.” [HR. Asy-Syaikhani, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah].

C. Dasar Kewajiban Shiyam Ramadhan
1. Firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. [البقرة (2): 183].
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS. Al-Baqarah (2): 183].
2. Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ. [رواه البخاري ومسلم واللفظ له، والترمذي والنسائي وأحمد].
Artinya: “Dari ‘Abdullah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Islam dibangun di atas lima dasar, yakni bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; mengerjakan haji; dan berpuasa pada bulan Ramadhan.” [HR al-Bukhari, Muslim, at-Turmudzi, an-Nasa’i, dan Ahmad, dan lafal ini adalah lafal Muslim].

D. Orang yang Diwajibkan dan yang Tidak Diwajibkan Berpuasa
1. Orang yang diwajibkan berpuasa Ramadhan
Orang yang diwajibkan berpuasa Ramadhan adalah semua muslimin dan muslimat yang mukallaf. Dasarnya adalah hadits Abdullah di atas (huruf C).
2. Orang yang tidak diwajibkan berpuasa Ramadhan, dan wajib mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan adalah perempuan yang mengalami haidl dan nifas di bulan Ramadlan. Para ulama telah sepakat bahwa hukum nifas dalam hal puasa sama dengan haidl. Dasarnya adalah:
a. Hadits Nabi Muhammad saw:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَا بَلَى. [رواه البخاري].
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: Bukankah wanita itu jika sedang haidl, tidak shalat dan tidak berpuasa? Mereka menjawab: Ya.” [HR. Al-Bukhariy].
b. Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ عَائِشَةَ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. [رواه مسلم].
Artinya: “‘Aisyah r.a. berkata: Kami pernah kedatangan hal itu [haid], maka kami diperintahkan mengqadla puasa dan tidak diperintahkan mengqadla shalat.” [HR. Muslim].

E. Orang yang Diberi Keringanan dan Orang yang Boleh Meninggalkan Puasa
1. Orang yang diberi keringanan (dispensasi) untuk tidak berpuasa, dan wajib mengganti (mengqadla) puasanya di luar bulan Ramadhan:
a. Orang yang sakit biasa di bulan Ramadhan.
b. Orang yang sedang bepergian (musafir).
Dasarnya adalah:
1) Firman Allah SWT:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ... [البقرة (2): 184].
Artinya: “Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain ...” [QS. Al-Baqarah (2): 184].
2) Sabda Nabi Muhammad saw:
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ قَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ. [رواه الخمسة].
Artinya: “Bahwa Rasulullah saw bersabda: Sungguh Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separo shalat bagi orang yang bepergian, dan membebaskan pula dari puasa orang hamil dan orang yang menyusui.” [HR. Al-Khamsah].
2. Orang yang boleh meninggalkan puasa dan menggantinya dengan fidyah 1 mud (0,5 kg) atau lebih makanan pokok, untuk setiap hari.
a. Orang yang tidak mampu berpuasa, misalnya karena tua dan sebagainya.
b. Orang yang sakit menahun.
c. Perempuan hamil.
d. Perempuan yang menyusui.
Dasarnya adalah:
1) Firman Allah SWT:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ... [البقرة (2): 184].
Artinya: “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” [QS. Al-Baqarah (2): 184].
2) Hadits Nabi Muhammad saw:
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ قَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ. [رواه الخمسة].
Artinya: “Bahwa Rasulullah saw bersabda: Sungguh Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia telah membebaskan puasa dan separo shalat bagi orang yang bepergian, dan membebaskan pula dari puasa orang hamil dan orang yang menyusui.” [HR. Al-Khamsah].

F. Hal-hal yang Membatalkan Puasa dan Sanksinya
1. Makan dan minum di siang hari pada bulan Ramadhan, puasanya batal, dan wajib menggantinya di luar bulan Ramadhan.
Allah SWT berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ... [البقرة (2): 187].
Artinya: “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar ...” [QS. Al-Baqarah (2): 187].
2. Senggama suami-isteri di siang hari pada bulan Ramadhan; puasanya batal, dan wajib mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan, dan wajib membayar kifarah berupa: memerdekakan seorang budak; kalau tidak mampu harus berpuasa 2 (dua) bulan berturut-turut; kalau tidak mampu harus memberi makan 60 orang miskin, setiap orang 1 mud makanan pokok. Dalam suatu hadits disebutkan sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لاَ قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لاَ فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لاَ قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْيَالُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ فَقَالَ أَنَا قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُولَ اللهِ فَوَاللهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ. [رواه البخاري]
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Ketika kami sedang duduk di hadapan Nabi saw, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki, lalu berkata: Hai Rasulullah, celakah aku. Beliau berkata: Apa yang menimpamu? Ia berkata: Aku mengumpuli isteriku di bulan Ramadhan sedang aku berpuasa. Maka bersabdalah Rasulullah saw: Apakah engkau dapat menemukan budak yang engkau merdekakan? Ia menjawab: Tidak. Nabi bersabda: Mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut? Ia menjawab: Tidak. Nabi bersabda: Mampukah engkau memberi makan enam puluh orang miskin? Ia menjawab: Tidak. Abu Hurairah berkata: Orang itu berdiam di hadapan Nabi saw. Ketika kami dalam situasi yang demikian, ada seseorang yang memberikan sekeranjang kurma (keranjang adalah takaran), Nabi saw bertanya: Dimana orang yang bertanya tadi? Orang itu menyahut: Aku (di sini). Maka bersabdalah beliau: Ambillah ini dan sedekahkanlah. Ia berkata: Apakah aku sedekahkan kepada orang yang lebih miskin daripada aku, hai Rasulullah. Demi Allah, tidak ada di antara kedua benteng-kedua bukit hitam kota Madinah ini keluarga yang lebih miskin daripada keluargaku. Maka tertawalah Rasulullah saw hingga nampak gigi taringnya, kemudian bersabda: Berikanlah makanan itu kepada keluargamu.” [HR. Al-Bukhariy].



G. Masalah Orang yang Lupa
Orang yang makan atau minum karena lupa di siang hari pada bulan Ramadhan, dalam keadaan berpuasa, tidaklah batal puasanya, dan harus meneruskan puasanya tanpa adanya sanksi apapun. Dalam suatu hadits disebutkan sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ. [رواه الجماعة].
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa lupa sedang ia berpuasa, lalu makan dan minum, maka sempurnakanlah puasanya, karena sesungguhnya Allahlah yang memberi makan dan minum itu kepadanya.” [HR. Al-Jama‘ah].

H. Hal-hal yang Harus Dijauhi Selama Berpuasa
1. Berkata atau melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti: berbohong, memfitnah, menipu, berkata kotor, mencaci maki, membuat gaduh, mengganggu orang lain, berkelahi, dan segala perbuatan yang tercela menurut ajaran Islam. Dasarnya adalah:
a. Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ. [رواه الخمسة].
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong dan suka mengerjakannya, maka Allah tidak memandang perlu orang itu meninggalkan makan dan minumnya.” [HR. Al-Khamsah].
b. Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَسْخَبْ فَإِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ. [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Bersabda Rasulullah saw: Jika seseorang di antara kamu berpuasa, maka janganlah berkata kotor pada hari itu, dan janganlah berbuat gaduh. Jika dimarahi oleh seseorang atau dimusuhinya, hendaklah ia berkata: ‘saya sedang berpuasa’.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
2. Berkumur atau istinsyaq secara berlebihan. Dasarnya adalah hadits Nabi saw:
عَنْ لَقِيطِ بْنِ صَبُرَةَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَخْبِرْنِي عَنْ الْوُضُوءِ قَالَ أَسْبِغِ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ اْلأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا. [رواه الخمسة].
Artinya: “Dari Laqith bin Saburah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya berkata: Hai Rasulullah terangkanlah kepadaku tentang wudlu. Rasulullah saw bersabda: Ratakanlah air wudlu dan sela-selailah jari-jarimu, dan keraskanlah dalam menghirup air dalam hidung, kecuali jika engkau sedang berpuasa.” [HR. Al-Khamsah].
3. Mencium isteri di siang hari, jika tidak mampu menahan syahwat. Dasarnya adalah hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَلَكِنَّهُ كَانَ أَمْلَكَكُمْ ِلإِرْبِهِ. [رواه الجماعة والنسائى].
Artinya: “Dari Aisyah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah Rasulullah saw mencium dan merangkul saya dalam keadaan berpuasa. Tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan nafsunya.” [HR. Al-Jama‘ah dan An-Nasa'i].

I. Amalan-amalan yang Dianjurkan Selama Berpuasa
1. Mengerjakan Qiyamul-Lail (Shalat Tarawih). Dasarnya adalah hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُهُمْ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ فَيَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. [رواه الشيخان].
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw menganjurkan (shalat) qiyami Ramadhan kepada mereka (para shahabat), tanpa perintah wajib. Beliau bersabda: Barangsiapa mengerjakan (shalat) qiyami Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
2. Mengakhirkan makan di waktu sahur. Dasarnya adalah hadits Nabi saw:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ كُنْتُ أَتَسَحَّرُ فِيْ أَهْلِيْ ثُمَّ تَكُوْنُ سُرْعَتِيْ أَنْ أُدْرِكَ السُّجُوْدَ مَعَ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [رواه البخاري ، كتاب الصيام ، باب تأخير السحور] .
Artiunya: Dari Sahl Ibnu Sa‘ad r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya makan sahur di keluarga saya, kemudian saya berangkat terburu-buru sehingga saya mendapatkan sujud (pada shalat subuh) bersama Rasulullah saw [HR al-Bukh±r³, dalam Kitab ash-Shiy±m B±b Ta’kh³r as-Sa¥­r].
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسٍوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَزَالُ أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ ماَ عَجَّلُوْا اْلإِفْطَارَ وَأَخَّرُوْا السَّحُوْرَ [رواه أحمد]
Artinya: “Dari Abu Dzarr (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Umatku senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka dan menta’khirkan sahur” [HR Ahmad]. Menyegerakan berbuka sebelum shalat Maghrib (ta‘jil). Dasarnya adalah hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ. [متفق عليه].
Artinya: “Dari Sahl bin Sa‘ad (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw bersabda: Orang akan selalu baik (sehat) apabila segera berbuka.” [Muttafaq ‘Alaih].
3. Menyegerakan berbuka sebelum shalat Maghrib (ta‘jil). Dasarnya adalah hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ. [متفق عليه].
Artinya: “Dari Sahl bin Sa‘ad (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw bersabda: Orang akan selalu baik (sehat) apabila menyegerakan berbuka.” [Muttafaq ‘Alaih].
4. Berdoa ketika berbuka puasa, dengan doa yang dituntunkan yang menunjukkan kepada rasa syukur kepada Allah SWT. Misalnya do’a Ddzahazh zhama’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatil ajru insy± Allah, atau All±humma laka shumtu wa ‘al± rizqika afthartu. Hal ini diterangkan dalam hadis-hadis berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ. [رواه أبو داود].
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Apabila Rasulullah saw berbuka, beliau berdoa: Ddahabazh zhama’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatil ajru insy± Allah [Hilanglah rasa haus dan basahlah urat-urat (badan) dan insya Allah mendapatkan pahala]” [HR. Abu Dawud].
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذَا صَامَ أَفْطَرَ قَالَ اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ [رواه ابن أبي شيبة ، وأبو داود والبيهقي في شعب الإيمان] .
Artinya: “Dari abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah nabi saw apabila berpuasa, beliau berbuka. Beliau mengucapkan All±humma laka shumtu wa ‘al± rizkika afthartu [Ya Allah untukmulah aku berpuasa dan karena rezkimulah aku berbuka] [HR Ibnu Ab³ Syaibah, juga diriwayatkan oleh Abu D±w­d dan al-Baihaq³ dalam Syu‘abul-´m±n].
5. Memperbanyak shadaqah dan mempelajari/membaca Al-Qur'an.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ. [متفق عليه].
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw adalah orang yang paling dermawan, apalagi pada bulan Ramadhan, ketika ditemui oleh Malaikat Jibril pada setiap malam pada bulan Ramadhan, dan mengajaknya membaca dan mempelajari Al-Qur'an. Ketika ditemui Jibril, Rasulullah adalah lebih dermawan daripada angin yang ditiupkan.” [Muttafaq ‘Alaih].
6. Mendekatkan diri kepada Allah dengan cara i‘tikaf di masjid, terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah saw.
عَنْ بْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ. [متفق عليه].
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw selalu beri‘tikaf pada sepuluh hari yang penghabisan di bulan Ramadhan.” [Muttafaq ‘Alaih].

J. Tuntunan Qiyamul-Lail (Shalat Tarawih)
1. Pengertian Qiyamul-Lail (Shalat Tarawih)
Qiyamul-Lail (Shalat Tarawih) ialah shalat sunnat malam pada bulan Ramadhan.
2. Waktu Qiyamul-Lail (Shalat Tarawih)
Adapun waktunya ialah sesudah shalat ‘Isya hingga fajar (sebelum dating waktu Shubuh), sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً. [رواه مسلم].
Artinya: “Dari ‘Aisyah r.a. isteri Nabi saw (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw selalu mengerjakan shalat (malam) pada waktu antara selesai shalat ‘Isya, yang disebut orang "‘atamah" hingga fajar, sebanyak sebelas rakaat.” [HR. Muslim].
3. Pelaksanaan Qiyamul-Lail (Shalat Tarawih)
a. Qiyamul-Lail (Shalat Tarawih) sebaiknya dikerjakan secara berjama‘ah, baik di masjid, mushalla, ataupun di rumah, dan dapat pula dikerjakan sendiri-sendiri. Apabila dikerjakan secara berjama‘ah, maka harus diatur dengan baik dan teratur, sehingga menimbulkan rasa khusyu‘ dan tenang serta khidmat; shaf laki-laki dewasa di bagian depan, anak-anak dibelakangnya, kemudian wanita di shaf paling belakang. Kalau perlu dapat diberi tabir, untuk menghindari saling memandang antara laki-laki dan wanita. Dasarnya adalah:
1) Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ... [رواه البخاري].
Artinya: “Dari ‘Abdir-Rahman bin ‘Abdil-Qari, (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya keluar bersama Umar ibnul-Khathab r.a. di suatu malam pada bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok terpisah-pisah, ada seorang laki-laki yang mengerjakan shalat sendirian, ada pula seorang laki-laki yang sedang melakukan shalat kemudian sekelompok orang mengikuti shalatnya, lalu berkatalah Umar: Seandainya saya kumpulkan mereka untuk mengikuti satu adalah lebih utama. Kemudian setelah memantapkan niatnya, ia mengumpulkan mereka agar mengikuti Ubay bin Ka‘ab (sebagai imamnya). Kemudian saya keluar bersama Umar pada malam yang lain, dan manusia sedang mengerjakan shalat mengikuti shalat imam mereka. Lalu berkatalah Umar: Alangkah baik bid‘ah ini …” [HR. Al-Bukhariy].
2) Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا. [رواه البخاري].
Artinya: “Dari Anas ibn Malik r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Saya mendirikan shalat di rumah saya bersama anak yatim di belakang Nabi saw, sedang ibuku, Ummu Sulaim di belakang kami.” [HR. Al-Bukhari].
b. Qiyamul-Lail (Shalat Tarawih) dikerjakan dengan 4 raka‘at, 4 raka‘at tanpa tasyahud awal, dan 3 raka‘at witir tanpa tasyahud awal, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ عَائِشَةَ حِيْنَ سُئِلَتْ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: “Dari ‘Aisyah (diriwayatkan bahwa) ketika ia ditanya mengenai shalat Rasulullah saw di bulan Ramadan. Aisyah menjawab: Nabi saw tidak pernah melakukan shalat sunnat di bulan Ramadan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana bagus dan indahnya. kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
c. Sebelum mengerjakan Qiyamul-Lail, disunnatkan mengerjakan shalat sunat dua raka‘at ringan (Shalat Iftitah), sebagaimana dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ اللَّيْلِ فَلْيَفْتَتِحْ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ. [رواه مسلم وأحمد وأبو داود].
Artinya: “Dari Abu Hurairah dari Nabi saw, (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Jika salah satu di antara kamu mengerjakan qiyamul-lail, hendaklah ia membuka (mengerjakan) shalatnya dengan shalat dua rakaat ringan.” [HR. Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud].
d. Bacaan surat yang dibaca setelah membaca Al-Fatihah pada 3 raka‘at shalat witir, menurut Rasulullah saw adalah sebagai berikut: Pada raka‘at pertama membaca surat Al-A‘la, pada raka‘at kedua membaca surat Al-Kafirun, dan pada raka‘at ketiga membaca surat Al-Ikhlash. Dalam hadits Nabi disebutkan sebagai berikut:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ اْلأُولَى مِنْ الْوِتْرِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى وَفِي الثَّانِيَةِ بِقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَفِي الثَّالِثَةِ بِقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. [رواه النسائى والترمذى وابن ماجه].
Artinya: “Dari Ubay bin Ka‘ab (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Bahwa Nabi saw pada shalat witir pada rakaat yang pertama selalu membaca Sabbihisma Rabbikal-A‘laa, dan pada rakaat yang kedua membaca Qul Yaa Ayyuhal-Kaafiruun, dan pada rakaat yang ketiga membaca Qul Huwallaahu Ahad.” [HR. An-Nasa'i, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah].
e. Setelah selesai 3 raka‘at shalat witir, disunatkan membaca doa dengan suara nyaring:
سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوسِ.
Artinya: “Maha Suci Allah Yang Maha Merajai dan Yang Maha Bersih.”

Dibaca tiga kali, dan membaca:
رَبُّ اْلمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ.
Artinya: “Yang Menguasai para Malaikat dan Ruh/Jibril.”
Berdasarkan hadis:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم إِذِا سَلَّمَ فِيْ اْلوِتْرِ قَالَ سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوْسِ [رواه أبو داود].
Artinya: “Dari Ubayy Ibnu Ka‘ab (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah Rasulullah saw membaca Sub¥±nal-Malikil-Qudd­s [Maha Suci Allah Yang Maha Merajai dan Yang Maha Bersih]” [HR Ab­ D±w­d].
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يُوْتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا اْلكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ الله أَحَدٌ وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوْسِ ثَلاَثَ مَرَاتٍ وَمَدَّ بِاْلأَخِيْرَةِ صَوْتَهُ وَيَقُوْلُ رَبِّ اْلمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ [رواه الطبراني في المعدم الأوسط] .
Artinya: “Dari Ubayy Ibnu Ka‘ab (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Adalah Rasulullah saw melakukan witir dengan membaca Sabbihis—marabbikal-a‘l±, qul y± ayyuhal-k±fir­n dan qul huwall±hu a¥±d; dan apabila selesai salam ia membaca Sub¥±nal-Malikil-Qudd­s [Maha Suci Allah Yang Maha Merajai dan Yang Maha Bersih] tiga kali dan menyaringkan suaranya dengan yang ketiga, serta mengucapkan rabbul-mal±’ikati war-r­¥ [Tuhan Malaikat dan ruh]” [HR ath-Thabarani, di dalam al-Mu‘jam al-Ausath].

K. Tuntunan Idul Fitri
1. Memperbanyak takbir pada malam Hari Raya ‘Idul Fitri, sejak matahari terbenam, hingga esok, ketika shalat ‘Id dimulai. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ. [البقرة (2): 185].
Artinya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [QS. Al-Baqarah (2): 185].
2. Sebelum berangkat ke tempat shalat, hendaklah memakai pakaian yang terbaik yang dimilikinya, memakai wangi-wangian, makan secukupnya. Pada waktu berangkat shalat hendaklah selalu membaca takbir. Dan pada waktu pulang hendaklah mengambil jalan lain ketika berangkat. Semua kaum muslimin dan muslimat dianjurkan mendatangi tempat shalat untuk mendengarkan khutbah. Para wanita yang sedang haidl cukup mendengarkan khutbah, tidak mengerjakan shalat. Dasar-dasarnya adalah:
a. Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنِ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ العِيْدَيْنِ أَنْ نَلْبَسَ أَجْوَدَ ماَ نَجِدُ وَأَنْ نَتَطَيَّبَ بِأَجْوَدِ ماَ نَجِدُ وَأَنْ نُضَحِّيَ بِأَسْمَنِ ماَ نَجِدُ. [رواه الحاكم].
Artinya: “Dari Anas r.a. (iriwayatkan bahwa) Rasulullah saw menyuruh kami pada dua hari raya [Idul Fitri dan Idul Adlha] agar memakai pakaian yang terbaik yang kami miliki, memakai wangi-wangian yang terbaik, dan menyembelih binatang yang paling gemuk.” [HR. Al-Hakim].
b. Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ إِلَى الْعِيدَيْنِ يَرْجِعُ فِي غَيْرِ الطَّرِيقِ الَّذِي خَرَجَ فِيهِ. [رواه أحمد ومسلم].
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw apabila keluar ke tempat shalat dua Hari Raya, pulangnya selalu mengambil jalan lain dari ketika beliau keluar.” [HR. Ahmad dan Muslim].
c. Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَخْرُجَ إِلَى الْعِيدِ مَاشِيًا وَأَنْ يَأْكُلَ شَيْئًا قَبْلَ أَنْ يَخْرُجَ. [رواه الترمذي].
Artinya: “Dari ‘Ali r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Termasuk sunnah Nabi, pergi ke tempat shalat ‘Id dengan berjalan kaki dan makan sedikit sebelum keluar.” [HR at-Tirmidzi].
d. Hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا. [رواه الجماعة].
Artinya: “Dari Ummu ‘Athiyyah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw memerintahkan kami supaya menyuruh mereka keluar pada hari Idul Fitri dan Idul Adlha: yaitu semua gadis remaja, wanita sedang haid dan wanita pingitan. Adapun wanita-wanita sedang haid supaya tidak memasuki lapangan tempat shalat, tetapi menyaksikan kebaikan hari raya itu dan panggilan kaum Muslimin. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana salah seorang kami yang tidak mempunyai baju jilbab? Rasulullah menjawab: Hendaklah temannya meminjaminya baju kurungnya.” [HR. Al-Jama‘ah].
3. Lafadz Takbir
Lafadz takbir untuk Hari Raya adalah:
اَللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ.
Dasarnya adalah hadits Nabi Muhammad saw:
عَنْ سَلْماَنَ قَالَ: كَبِّرُوْا اَللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا . وَجَاءَ عَنْ عُمَرَ وَاْبنِ مَسْعُوْدٍ: اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ. [رواه عبد الرزاق بسند صحيح].
Artinya: “Dari Salman (dilaporkan bahwa) ia berkata: Bertakbirlah dengan: Allaahu akbar, Allaahu akbar kabiiran. Dan dari Umar dan Ibnu Mas‘ud (dilaporkan): Allaahu akbar, Allaahu akbar, laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar wa lillaahil-hamd.” [HR. ‘Abdur-Razzaq, dengan sanad shahih].
4. Zakat Fitri
Zakat fitri diwajibkan kepada setiap orang muslim/muslimah, tua muda, dan anak kecil, yang pada menjelang Hari Raya mempunyai kelebihan makanan pokok. Zakat fitri berupa makanan pokok sebanyak 1 sha‘ (± 2,5 kg). Zakat fitri ditunaikan pada akhir Ramadhan, dan selambat-lambatnya sebelum shalat ‘Id dilaksanakan. Apabila zakat tersebut ditunaikan sesudah shalat ‘Id, maka berubah menjadi shadaqah biasa. Sebaiknya zakat fitri dikumpulkan pada Panitia Zakat (Amil Zakat), agar dapat dibagikan secara merata dan teratur.
Adapun tujuan zakat fitri ialah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari dosa-dosanya, karena ketika berpuasa, baik sengaja maupun tidak sengaja, telah melakukan hal-hal yang dilarang oleh Syari‘ah, dan juga untuk menyantuni para fakir miskin.
Dalam hadits Nabi saw disebutkan sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ. [رواه أبو دادود وابن ماجه].
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitri untuk mensucikan diri orang yang berpuasa dari perkataan yang sia-sia dan kotor serta untuk memberi makan kepada orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘Id, maka itu adalah zakat yang diterima, dan barang siapa yang menunaikannya sesudah shalat ‘Id, maka itu hanyalah sekedar sedekah.” [HR. Abu Dawud, Ibnu Majah].
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ أَوْ رَجُلٍ أَوِ امْرَأَةٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ. [رواه مسلم].
Artinya. “Dari Abdullah Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitri pada bulan Ramadhan atas setiap jiwa orang Muslim, baik merdeka ataupun budak, laki-laki ataupun wanita, kecil ataupun besar, sebanyak satu sha' kurma atau gandum. [HR. Muslim].
5. Shalat dan Khutbah ‘Idul Fitri
a. Shalat Idul Fitri dikerjakan secara berjama‘ah di tanah lapang. Jumlah rakaat shalat Idul Fitri adalah dua rakaat, dengan tujuh kali takbir setelah takbiratul ihram pada rakaat pertama, dan lima kali takbir pada rakaat kedua. Dasar-dasarnya adalah:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ... [رواه البخاري].
Artinya: “Dari Abu Sa‘id al-Khudri (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi Muhammad saw selalu keluar pada hari Idul Fitri dan hari Idul Adlha menuju lapangan, lalu hal pertama yang ia lakukan adalah shalat ...” [HR. Al-Bukhari].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ أَضْحَى أَوْ فِطْرٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا...[أخرجه السبعة].
Artinya: “Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan) bahwasanya Rasulullah saw pada hari Idul Adlha atau Idul Fitri keluar, lalu shalat dua rakaat, dan tidak mengerjakan shalat apapun sebelum maupun sesudahnya. [Ditakhrijkan oleh tujuh ahli hadis].
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْعِيدَيْنِ سَبْعًا وَخَمْسًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ. [رواه أحمد].
Artinya: “Dari Aisyah (diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw pada shalat dua hari raya bertakbir tujuh kali dan lima kali sebelum membaca (al-Fatihah dan surat). [HR Ahmad].
b. Khutbah Idul Fitri dikerjakan satu kali sesudah melaksanakan shalat Idul Fitri, dimulai dengan bacaan hamdalah. Dasarnya adalah:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ. [متفق عليه].
Artinya: “Dari Abu Sa‘id al-Khudri (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw keluar pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha menuju lapangan tempat shalat, maka hal pertama yang dia lakukan adalah shalat, kemudian manakala selesai beliau berdiri menghadap orang banyak yang tetap duduk
Selengkapnya...

Jumat, 20 Mei 2011

SHALAT JAMA'

SHALAT JAMA’
Shalat jama’ adalah menggabungkan dua shalat wajib dalam satu waktu. Shalat yang dapat di jama’ adalah shalat dhuhur dengan shalat ashar dan shalat maghrib dengan shalat isya’. Sedangkan shalat subuh tidak diperbolehkan shalat jama’. Jama’ di bagi menjadi dua yaitu jama’ taqdim dan jama’ takhir. Jama’ taqdim adalah menjama’ dua shalat dan di kerjakan di waktu yang pertama. yaitu menjama’ shalat dhuhur dan ashar di kerjakan diwaktu dhuhur atau menjama’ antara shalat maghrib dan isya’ dikerjakan di waktu maghrib. Dalilnya adalah hadis dibawah ini:
عن معاذ رضي الله عنه: أن النبي صلّى الله عليه وسلم كان في غزوة تبوك إذا ارْتَحَلَ بعْدَ المغربِ عَجَّلَ الَعِشَاءَ فَصَلاهَا مع المغربِ (رواه أحمد وأبو داود والترمذي وحسنه، والدارقطني والحاكم، والبيهقي وابن حبان وصححاه) ((نيل الأوطار: 213/3ومابعدها)
Dari Muadz ra. Sesungguhnya nabi SAW dalam perang tabuk, apabila beliau melakukan perjalanan setelah maghrib beliau mempercepat isya’nya sehingga ia shalat isya’ bersama dengan maghrib. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi menghasankan hadis ini, ad-Daruqudni, Hakim. Baihaqi dan Ibnu Hibban menshahihkannya)(Nailul Authar: 3:213)
Sedangkan jama’ takhir adalah menggabungkan dua shalat fardhu dan dikerjakan di shalat yang akhir. Yaitu melaksanakan shalat dhuhur dengan ashar dikerjakan di waktu ashar dan melaksanakan shalat maghrib dan isya’ dikerjakan diwaktu isya’. Dalilnya adalah hadis di bawah ini:
فَقَالَ أَنَسٌ: كَانَ رَسُوْلُ الله صلّى الله عليه وسلم إِذَا رَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيْغَ ـ تمَِيْلَ ظُهْراً ـ الشَّمْسُ، أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ، ثُمَّ نَزَلَ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا، فَإِنْ زَاغَتْ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ رَكِبَ (متفق عليه) (نيل الأوطار: 212/3)
Anas berkata: Rasulullah SAW apabila berpergian sebelum matahari condong (condong dhuhur) beliau mengakhirkan dhuhur sampai waktu ashar, kemudian beliau turun dari (kendaraan) menjama’ keduanya, kemudian jika matahari telah condong sebelum beliau melakukan perjalanan maka beliau shalat dhuhur kemudian mengendarai kendaraannya. (Muttafaq ‘Alaih) (Nailul Authar: 3:212)
Kemudian dalam hadis yang lain menyebutkan:
عَنْ مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ، أَنَّ النَبِيَّ- عَلَيْهِ السَّلاَمُ- كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوْكٍ إِذَا ارْتَحَلَ قبلَ أَن تَزِيغَ الشَّمْسُ أخَّرِ الظهرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إِلَى الْعَصْرِ، فَيُصَلِّيْهَا جَمِيْعًا، وَإِذَا ارْتَحَلَ بعدَ زَيْغِ الشَّمْسِ صَلَّى الظُّهْرَ والعَصرَ جَمِيْعًا، ثُمَّ سَارٍ، وَكاَنَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ الْمَغْرِبِ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيْهَا مَعَ العِشَاءِ، وَ إِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ عَجَّلَ الَعِشَاءَ فَصَلاَّهَا مَعَ الْمَغْرِبِ (الترمذي: كتاب الصلاة، باب: الجمع بين الصلاتين (553)
Dari Muadz bin Jabal, sesungguhnya Nabi SAW dalam perang Tabuk apabila beliau melakukan perjalanan sebelum matahari condong beliau mengakhirkan dhuhur hingga beliau menjama’nya sampai ashar hingga beliau shalat. Dan apabila beliau bepergian setelah matahari condong maka beliau menjama’ dhuhur dan ashar kemudian pergi. Dan apabil beliau bepergian sebelum maghrib maka beliau mengakhirkan maghrib hingga beliau menjama’nya dengan isya’. Dan apabila bepergian setelah maghrib maka beliau mempercepat isya’nya sehingga menjama’nya dengan shalat maghrib. (HR. Tirmidzi: Kitab Shalat; Bab menjama’ diantar dua shalat)
A. Kondisi di perbolehkannya jama’
Menjama’ shalat tidak hanya dikhususkan pada saat bepergian saja. Shalat jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan oleh orang yang mukim.
Terdapat beberapa riwayat yang membolehkan jama’ dalam keadaan tidak safar (mukim) antara lain sebagai berikut:
1. Menjama’ shalat karena turun hujan
Boleh menjama’ shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan isya’ pada saat bermukim karena hujan. Hanya saja imam Malik menhkhususkan kebolehannya pada saat malam hari.
Hal ini berdasarkan dalil di bawah ini:
a. Hadis Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah SAW menjama’ shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan isya’ di madinah tanpa adanya rasa takut dan tanpa ada hujan. (HR. Muslim)
Dalam riwayat yang lain:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : جَمَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ ، فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلا خَوْفٍ ، قَالَ : قُلْتُ يَا أَبَا الْعَبَّاسِ : وَلِمَ فَعَلَ ذَلِكَ ؟ قَالَ : أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ. (احمد: 1: 283)
"Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ antara shalat Dhuhur dan Ashar di Madinah bukan karena bepergian juga bukan takut. Saya bertannya; Wahai Ibnu Abbas, kenapa bisa demikian? Dia menjawab: Dia tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya".
Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadis di atas hujan di jadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’ (Al-Baniy, Irwa’, III/40)

b. Dari Hisyam bin ‘Urwah bahwa ayahnya urwah bersama sa’id bin musayyab dan Abu Bakr bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bin mughirah al-makhzumi, menjama’ antara maghrib dan isya’ ketika hujan turun pada malam hari, ketika mereka menjama’ shalat, tidak ada seorangpun yang mengingkari hal itu. (HR. Al-Baihaqi)
2. Menjama’ karena ada keperluan dan karena sakit.
Dalam riwayat Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Saw menjama’ antara shalat Dhuhur dan Ashar di Madinah bukan karena bepergian juga bukan takut. Saya bertanya: Wahai Ibnu Abbas, kenapa bisa demikian? Dia menjawab: dia tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya. (HR.Muslim)
Imam Nawawi dalam kitabnya syarah Muslim V/215, dalam mengomentari hadis ini mengatakan, mayoritas ulama membolehkan menjama’kan shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, Ishaq Almarwazi dan Ibnu Mindzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengar hadits Nabi di atas, “beliau tidak ingin memberatkan umatnya sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir.
Syaikhul Islam berkata: “para buruh dan petani, jika pada waktu tertentu memberatkan mereka, misalnya air jauh dari tempat shalat. Jika mereka pergi kesana untuk bersuci, terbengkalailah pekerjaan yang di butuhkan, maka mereka boleh mengerjakan shalat pada satu waktu dengan menjama’ di antara dua shalat. (Majmu’ Fatawa (XX/458)
Kemudian bagi Orang yang sakit boleh menjama’ shalatnya yaitu orang yang merasa kesulitan mengerjakan tiap-tiap shalat tepat pada waktunya. Hal ini berdasarkan hadis Ibnu Abbas yang telah lalu. Pendapat ini yang dipegangi oleh Imam Malik dan Ahmad begitu pula Syaikhul Islam.
B. Pelaksanaan Jama'
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa menjama' shalat merupakan keringanan yang diberikan Allah swt, baik karena takut, hujan, bepergian atau tidak ada sebab apapun. Hal ini dikuatkan lagi oleh beberapa hadits berikut:

"Rasulullah SAW menjamak sholat magrib dan isya pada malam yang hujan. Dalil lainnya yaitu salah satu perbuatan sahabat, dari Nafi’: bahwa Abdullah Ibnu Umar sholat bersama para umara (pemimpin) apabila para umara tersebut menjamak shalat magrib dan isya pada waktu hujan". (HR Bukhori)

"Rasulullah SAW menjamak antara sholat zuhur dan ashar dan antara sholat magrib dan Isya bukan karena rasa takut dan hujan". (HR Muslim)
Kesimpulannya: Dalam kondisi normal, shalat harus dilaksanakan secara terpisah-pisah antara dhuhur dan ashar, dan antara maghrib dan isya', maka keringanan menjama' diberikan karena adanya sebab tertentu. Meskipun dalam beberapa hadits tidak disebutkan sebab Nabi menjama' shalat, namun sebagian ulama tetap meyakini Nabi memiliki sebab yang tidak diketahui oleh sahabat. Karena itulah, sebaiknya shalat dikerjakan secara terpisah ketika dalam kondisi normal. Hanya saja sebagaian ulama membolehkan jama' shalat tanpa sebab dengan syarat sekali-kali saja dan tidak menjadi kebiasaan.
Hadits-hadits cara menjama' shalat
أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ سَوَّادِ بْنِ الْأَسْوَدِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ إِسْمَعِيلَ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَس عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا عَجِلَ بِهِ السَّيْرُ يُؤَخِّرُ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ فَيَجْمَعُ بَيْنَهُمَا وَيُؤَخِّرُ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَجْمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْعِشَاءِ حَتَّى يَغِيبَ الشَّفَق
( أخبرنا ) : ابن أبي يحي عن حُسين بنِ عَبد اللَّه بن عبيدِ اللَّه بن عباس عن كُرَيْبٍ عن ابن عباس رضي اللَّه عنهما أنه قال : - ألاَ أُخبركم عن صلاةِ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم في السفرِ ؟ كان إذا زالتِ الشمسُ وهو في منزله جمع بين الظهر والعصر في الزوال فإذا سافر قبلَ أن تزول الشمسُ أخّرَ الظُّهْرَ حتى يَجْمَعَ بينهما وبينَ العصر في وقْتِ العصْر

Dari Muadz bin Jabal bahwa Rasululloh SAW apabila beliau melakukan perjalanan sebelum matahari condong (masuk waktu sholat zuhur), maka beliau mengakhirkan shalat zuhur kemudian menjamaknya dengan sholat ashar pada waktu ashar, dan apabila beliau melakukan perjalanan sesudah matahari condong, beliau menjamak sholat zuhur dan ashar (pada waktu zuhur) baru kemudian beliau berangkat. Dan apabila beliau melakukan perjalanan sebelum magrib maka beliau mengakhirkan sholat magrib dan menjamaknya dengan sholat isya, dan jika beliau berangkat sesudah masuk waktu magrib, maka beliau menyegerakan sholat isya dan menjamaknya dengan sholat magrib. (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).

حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِى السَّفَرِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَدْخُلَ أَوَّلُ وَقْتِ الْعَصْرِ. 1/390
Adalah Rasulullah SAW dalam peperangan Tabuk, apabila hendak berangkat sebelum tergelincir matahari, maka beliau mengakhirkan Dzuhur hingga beliau mengumpulkannya dengan Ashar, lalu beliau melakukan dua shalat itu sekalian. Dan apabila beliau hendak berangkat setelah tergelincir matahari, maka beliau menyegerakan Ashar bersama Dzuhur dan melakukan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau berjalan. Dan apabila beliau hendak berangkat sebelum Maghrib maka beliau mengakhirkan Maghrib sehingga mengerjakan bersama Isya’, dan apabila beliau berangkat setelah Maghrib maka beliau menyegerakan Isya’ dan melakukan shalat Isya’ bersama Maghrib“. (HR Tirmidzi)

Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama antara Zhuhur dan Ashar jika berada dalam perjalanan, juga menjama antara Maghrib dan Isya. (HR Bukhari)

TERTIB ANTARA DUA SHALAT YANG JAMA’
Jumhur ulama' sepakat mengenai urutan shalat yang dilakukan ketika jama' taqdim; yaitu dhuhur lalu ashar, dan maghrib lalu isya'. Mereka berbeda pendapat mengenai urutan tersebut ketika dilakukan ketika melaksanakan jama' ta'khir; apakah shalat dhuhur terlebih dahulu ataukah ashar, maghrib ataukah Isya' dulu?
Memang tidak ada dalil khusus mengenai urutan shalat yang dilakukan ketika jama' ta'khir. Berbagai hadits tidak menyebutkan urutan tersebut, kecuali hanya persepsi dan interpretasi yang terlalu jauh. Karena itu, yang benar adalah kembali kepada urutan shalat dalam kondisi normal, yaitu shalat dhuhur dulu baru ashar, maghrib dahulu baru isya'. Karena setiap shalat wajib di letakkan pada tempat yang telah di tentukan oleh syariat secara berurutan. Rasulullah saw bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي (متفق عليه)
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Bukhari-Muslim)
Wallahu a’lam bishawab
Selengkapnya...

Sabtu, 30 April 2011

SHOLAT JUMAT BAGIAN KEDUA

Beberapa golongan yang tidak wajib jumat
Diantara golongan yang tidak di wajibkan menunaikan shalat jumat antara lain adalah hamba sahaya, anak-anak wanita dan orang yang sakit. Berdasarkan hadis di bawah ini:
عَنْ طَارِقٍ بْنِ شِهَابٍ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٍ عَبْدِ مَمْلُوكٍ ، أْوِ امْرَأَةٍ ، أَوْ صَبِىٍّ ، أَوْ مَرِيضٍ رواه أبو داود (تعليق الذهبي قي التلخيص : صحيح)
Dari Thoriq bin Syihab ra. Dari Nabi SAW bersabda: jumat itu kewajiban atas setiap Muslim dalam jamaah kecuali empat golongan, yaitu: hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sakit”. (HR. Abu Dawud) Adzahabi dalam Talkhis berkata: hadis ini shahih
Bagi golongan di atas tidak di wajibkan melaksanakan shalat jumat namun apabila mereka melaksanakannya maka itu tidak terlarang bagi mereka. Terutama banyak kita jumpai dalam masyarakat muslim ibadah ini tidak hanya di lakukan oleh kaum laki-laki saja akan tetapi wanitapun juga ikut mengerjakannya. Dalam hal ini Tim Majelis Tarjih Muhammadiyah mengemukakan dalam buku Tanya jawab muhammadiayah jilid 2 bahwa wanita tidak wajib melakukan shalat jumat. Selain berdasarkan hadis di atas juga di tambah dengan riwayat hadis maquf sebagai qarinah saja bahwa pada masa sahabat rupanya wanita diperkenankan melakukan shalat jumat dan bagi yang tidak melakukan shalat jumat maka melakukan shalat dhuhur, seperti yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ma’dan dari neneknya, ia mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud pernah berkata kepadanya (nenek Ibnu Mas’ud), yang artinya; Apabila engkau mau melakukan shalat jumat bersanma imam maka lakukanlah bersamanya dan kalau engkau shalat di rumah maka shalatlah empat rakaat.
Riwayat ini ditakhrij oleh Ibnu Syaibah dengan isnad yang sahih. Hadis Mauquf ini dapat ditopang dengan riwayat al-Hasan yang dapat di hukumkan marfu’, yang artinya (salah satu riwayat dari al-hasan) ia berkata: “Dahulu para wanita shalat jumat bersama nabi, dan dikatakan oleh Nabi bahwa janganlah pergi kemasjid kecuali wanita-wanita yang tidak membawa bau yang wangi. Sanad riwayat in sahih dan dalam satu riwayat yang lain dari jalan asy’ats dari al-Hasan, ia berkata: “Dahulu wanita muhajirin, melakukan shalat jumat bersama nabi, kemudian mereka mencukupkan dengan shalat dhuhur. Demikian hasil penelitian al-Bany dalam risalahnya AL-AJWIBAH AN NAFI’AH hal 40-41.
Kemudian di antara udzur-udzur yang membolehkan seorang muslim meninggalkan shalat jumat adalah cuaca yang sangat dingin dan hujan, berdasarkan hadis Ibnu Abbas bahwa dia berkata kepada Muadzinnya pada saat hujan lebat, “jika engkau telah mengucapkan Asyhadu Alla ilaha illallah, asyhadu anna Muhammadarrasulullah maka janganlah ucapkan: Hayya ‘alash shalah, tapi ucapkanlah: Shallu fi buyutikum (shalatlah dirumah kalian). “sepertinya orang-orang mengingkari hal itu, maka Ibnu Abbas mengatakan, “Apakah kalian heran dengan hal itu? Sesungguhnya hal itu telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dibandingkan diriku. Sesungguhnya shalat jumat itu azimah (kewajiban yang harus dilakukan), dan aku tidak suka kalian keluar lalu berjalan di jalan yang becek dan licin.
Juga orang yang tidak berkewajiban melaksanakan shalat jumat adalah musafir berdasarkan riwayat dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka ia wajib melaksanakan shalat jumat pada hari jumat kecuali orang sakit, musafir, wanita, anak-anak dan hamba sahaya. (Hasan dengan beberapa riwayat pendukung, diriwayatkan oleh ad-Daruquthni (II/3) dan Ibnu Adi dalam al-Kamil (VI/2425) silahkan lihat irwa’ (III/57)
WAKTU SHALAT JUMAT
Jumhur sahabat dan tabi’in berpendapat bahwa waktu shalat jumat adalah waktu dhuhur. yaitu dari tergelincirnya matahari hingga ukuran bayangan sesuatu sama dengannya. Dalil mengenai ketentuan waktu sholat Jum’at adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab “Shahih Bukhori” dari Anas bin Malik ra. Begitu pula Imam Syafi’i, Ahmad dan Ishaq berpandangan bahwa waktu shalat jum’at adalah setelah tergelincirnya matahari. Berdasarkan dalil-dalil dibawah ini:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ حَدَّثَنِى فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنِى عُثْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ التَّيْمِىُّ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى الْجُمُعَةَ إِذَا مَالَتِ الشَّمْسُ أخرجه أبو داود البخاري، والترمذي
Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali, menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab, telah menceritakan kepadaku Fulaih bin Sulaiman, telah menceritakan kepadaku Rasulullah SAW shalat Jumat apabila Matahari telah tergelincir (condong). (HR. Bukhari Abu Dawud dan Tirmidzi)
كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم الْجُمْعَةَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفِئَ.
Kami melaksanakan sholat jum’at bersama Rasulullah SAW ketika matahari telah tergelincir, kemudian kami pulang mengikuti bayangan” (HR. Muslim dan Ahmad dari Salamah bin Akwa)
Namun Hanabilah berpendapat bahwa waktu shalat jumat adalah dari awal waktu shalat ‘Id sampai akhir waktu dhuhur. Berdasarkan dalil dibawah ini:
عن جابر قال: كَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي الْجُمْعَةَ ثُمَّ نَذْهَبُ إِلَى جَمَالِنَا فَنَرِيْحُهَا حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ. رواه أحمد ومسلم والنسائي
Dari Jabir berkata: adalah Rasulullah SAW shalat jumat kemudian kami pergi ke kuda-kuda kami, lalu istirahat ketika waktu itu matahari sedang tergelincir. (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)
PERSIAPAN JUMAT
Hal-hal yang di lakukan ketika menghadiri shalat jumat
1. Mandi Wajib
Menurut sebagian pendapat Ulama mandi wajib sebelum menghadiri jumat adalah wajib walaupun sebagian yang lain hanya menghukumi sunnah. Namun mengambil dari dua pendapat tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa mandi wajib pada hari jumat merupakan perkara yang masyru’. Sebagaimana hadis dibawah ini:
وَعَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه: أنَّ رُسُوْلَ اللهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم قال: "غُسْلُ الجُمُعةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلمٍ". أخرَجَهُ السّبعَةُ
Dari Abu Said al Khudriyyi ra. : Bahwa Rasulullah saw bersabda: Mandi jumat itu wajib bagi setiap orang yang telah baligh”. (HR. Imam Tujuh)
عَنْ سَمُرَةَابْنِ جُنْدَبٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم: "مَنْ تَوَضأ يَوْمَ الجُمُعة فَبِهَاوَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ" رواه الخمسة
Dari Samurah bin Jundab berkata: Rasulullah saw bersabda: barang siapa yang telah berwudhu pada hari jumat maka ia telah mengambil rukhshah (keringanan) dan itulah sebaik-baik keringanan dan barang siapa yang mandi maka mandi itu lebih utama”. (HR. Imam Lima)
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ، ثُمَّ أَتَى الْجُمْعَةَ، فَاسْتَمَعَ، وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ (رواه مسلم)
Barang siapa yang berwudhu lalu membaguskannya kemudian mendatangi jumatan, mendengarkan khutbah dan diam maka diampuni dosa-dosanya antara jumat tersebut sampai jumat yang akan dating ditambah dengan tiga hari”. (HR, Muslim)
2. Menggosok gigi dengan siwak atau sejenisnya
َعنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَرْقُدُ مِنْ لَيْلٍ وَلَا نَهَارٍ فَيَسْتَيْقِظُ إِلَّا تَسَوَّكَ قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ (رواه مسلم و أبو داود)
Dari Aisyah ra. Sesungguhnya Rasulullah saw. Tidak tidur malam dan tidak pula tidur siang lalu beliau bangun kecuali bersiwak sebelum beliau berwudhu". (HR. Muslim dan Abu dawud)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ (متفّق عليه)
Dari Abdurrahman berkata: Aku mendengar Abu Hurairah berkata: sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda: seandainya aku tidak takut memberatkan ummatku sungguh aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak". (Muttafaq 'Alaih)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ (متفّق عليه)
Dari Abu Hurairah berkata: sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda: seandainya aku tidak takut memberatkan ummatku atau atas manusia sungguh aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap shalat". (Muttafaq 'Alaih)
3. Berhias dengan pakaian yang paling bagus dan memakai parfum (wangi-wangian)
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ الغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَلْبَسُ مِنْ صَالِحِ ثِيَابِهِ، وَإِنْ كاَنَ لَهُ طَيِّبٌ مَسَّ مِنْهُ) رواه أحمد والشيخان
Dari Abu Said al Khudriyy ra. Dari Nabi saw bersabda: atas seorang muslimlah mandi pada hari jumat dan memakai baju yang paling bagus jika ia mempunyai minyak wangi hendaklah ia pakai”. (HR. Ahmad dan Bukhari Muslim)
Dalam riwayat dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id keduanya mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa mandi pada hari jumat lalu berpakaian dengan pakaian terbagus yang dimilikinya, lalu mengenakan parfum, jika ia punya kemudian mendatangi shalat jumat maka semua itu menjadi penghapus dosa-dosa yang ada di antara jumat tersebut dengan jumat sebelumnya” (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Hakim dan Ibnu Hibban)
Dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah disebutkan “dan sebelum berangkat mandilah dahulu lalu mengenakan pakaian yang terbaik dan kenakanlah (usaplah) wangi-wangian apabila ada padamu.
4. Menjauhi hal-hal yang baunya dapat mengganggu jama’ah lain.
5. Masuk masjid dengan berdoa dan shalat tahiyatul masjid
Dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah disebutkan “…. Setelah tiba di masjid shalat lah sekuatmu dan jangan mengganggu……” berdasarkan hadis di bawah ini:
عَنْ أَبِى أَيُّوبَ الأَنْصَارِىِّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: "مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ ، وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ، ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِىَ الْمَسْجِدَ، فَيَرْكَعَ إِنْ بَدَا لَهُ، وَلَمْ يُؤْذِ أَحَدًا، ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يُصَلِّىَ، كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى.(رواه أحمد)

Dari Abu Ayyub berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa mandi pada hari Jumat, mengenakan wangi-wangian bila ada, memakai pakaian yang terbaik, kemudian keluar dengan tenang sehingga sampai ke masjid, lalu shalat seberapa menurut kehendaknya dan tidak mengganggu seseorang, kemudian berdiam diri sambil memperhatikan kepada khutbah imam sejak ia datang hingga berdiri shalat maka perbuatannya yang sedemikian itu menjadi pembebas dosanya selama antara jumah hari itu dengan hari jumah berikutnya. (HR. Ahmad)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: - دَخَلَ رَجُلٌ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ, وَالنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - يَخْطُبُ . فَقَالَ: "صَلَّيْتَ?" قَالَ: لَا. قَالَ: "قُمْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ" - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Jabir, ia berkata: seorang laki-laki masuk ke masjid pada hari jumat ketika Nabi SAW sedang berkhutbah maka beliau bertanya, apakah engkau sudah shalat? Ia menjawab: belum, beliau berkata, “kalau begitu shalatlah dua Rakaat. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam redaksi lain, “berdirilah lalu shalatlah dua rakaat dan cukupkanlah dengan dua rakaat itu.”
Dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwa apabila seseorang terlanjur duduk dan belum shalat, maka ia di anjurkan untuk berdiri dan mengerjakan dua rakaat tersebut dengan sedikit mempercepatnya-walaupun imam sedang berkhutbah-. Ia boleh mengerjakan shalat sunnah sebanyak mungkin sesukanya sebelum imam datang (untuk menyampaikan khutbah). Berdasarkan hadis di atas.
Dengan demikian tidak ada shalat sunnah qabliyah sebelum shalat jumat. Jika adzan telah dikumandangkan, maka tidak boleh seorang pun bangkit mengerjakan shalat. Kecuali apabila ia baru masuk kemasjid. Pendapat ini yang dipilih oleh Abu Hanifah, Malik asy-Syafi’i dan mayoritas pengikutnya.
6. Mendengarkan khatib berkhutbah (diam tidak berbicara)
Berdasarkan hadis di bawah ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ أَنْصِتْ فَقَدْ لَغَيْتَ (رواه الشيخان)
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW Apabila engkau katakan kepada temanmu pada hari jumat “Diamlah! Sedangkan imam sedang berkhutbah maka engkau telah berbuat sia-sia (HR. Bukhari Muslim)
ADZAN JUMAT
Adzan pada hari jumat di kumandangkan ketika Khatib telah duduk di atas mimbar. Berdaasarkan riwayat di bawah ini:
عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ أَنَّهُ قَالَ: «النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ، عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ الله صلّى الله عليه وسلم وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ، فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءُ الثَّالِثُ عَلَى الزَّوْرَاءِ (رواه البخاري والنسائي و أبوداود)
“sesungguhnya adzan pada hari jumat pada awalnya ketika imam duduk di atas mimbar yaitu pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar. Pada masa khalifah Utsman ketika jumlah mereka banyak, dia memerintahkan untuk mengumandangkan adzan ketiga (adzan tambahan) di atas Zaura”. (HR. al-Bukhary, an-Nasa’i dan Abu Dawud)
Seperti diterangkan di hadis tersebut menyebutkan adzan ketiga, maksudnya sebelum shalat jumat di lakukan adzan dan iqamah kemudian di tambah dengan adzan sekali lagi menjadi tiga, dua kali adzan dan sekali iqamah.
Dengan demikian adzan jumat adalah sekali, ketika imam duduk di atas mimbar. Adapun perbuatan khalifah Utsman adalah karena suatu alasan yang masuk akal, manusia semakin banyak dan tempat-tempat mereka berjauhan dengan masjid Nabawi. Dia ingin menyampaikan kepada mereka tentang masuknya waktu shalat. Oleh karenanya barang siapa yang memalingkan pandangan dari alasan ini, dan berpedoman dengan adzan yang di lakukan Utsman secara mutlaq, maka ia tidak mengikuti nabi SAW, bahkan menyelisihinya; karena ia tidak melihat dengan jernih alasan itu, jika bukan karena alasan tersebut, niscaya Utsman tidak akan menambah atas sunnah Nabi SAW dan dua khalifahnya.
Sehingga kalau alasan ini dibawa ke zaman sekarang, maka pemberitahukan akan waktu jumat tidak perlu sama dengan yang di lakukan Oleh Khalifah Utsman dengan adanya adzan tambahan. Sebab tidak ada aorang yang berjalan beberapa langkah, melainkan ia pasti mendengar adzan jumat di atas menara-menara masjid. Apalagi pengeras-pengeras suara telah di pasang di menara-menara, jam penunjuk waktu telah tersebar di mana-mana.
Namun demikian Ibnu Umar tetap mengingkari adzan yang di prakarsai oleh Utsman. Ia mengatakan, “sesungguhnya Nabi apabila naik ke atas mimbar, maka Bilal mengumandangkan adzan dan apabila Nabi selesai dari khutbahnya, maka shalat di iqamatkan. Sementara adzan yang pertama bid’ah. (sanadnya shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (II/48) .
Selengkapnya...

SHOLAT JUMAT BAGIAN PERTAMA

Keutamaan hari jumat
Setiap agama mempunyai hari tertentu yang istimewa. Entah itu hari dalam satu minggunya, dalam setiap bulannya maupun dalam setiap tahunnya. Sebagai contoh adalah agama Nasrani dalam setiap pekannya ada satu hari yang teristimewa bagi mereka yaitu hari Minggu. Begitupula orang-orang Yahudi mempunyai hari istimewa dalam setiap pekannya yaitu hari sabtu dimana mereka diperintahkan untuk menggunakan hari tersebut hanya untuk beribadah kepada Allah SWT bukan untuk kepentingan dan urusan duniawi. Tidak ketinggalan umat islam juga mempunyai hari yang teristimewa diantara hari-hari yang lain dalam setiap pekannya yaitu Hari jumat. Mengapa hari jumat di katakan istimewa? Karena di dalamnya mempunyai keutamaan-keutamaan tertentu antara lain:
1. Adam di ciptakan oleh Allah, dimasukkan kesurga dan dikeluarkan dari surga pada hari kiamat. Begitu pila hari kiamat terjadi pada hari jumat.
Sebagai mana hadis Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيْهِ الشَّمْسُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ: فِيْهِ خُلِقَ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَفِيْهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيْهِ أُخْرِجَ مِنْهَا وَلاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ إِلاَّ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ) رواه مسلم وأبو داود والنسائي والترمذي وصححه
Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “sebaik-baik hari dimana terbitnya matahari yaitu hari jumat. Dimana Adam as. Diciptakan, dimasukkan ke syurga dan di keluarkan dari syurga. Begitu pula tidak terjadi kiamat kecuali hari Jumat”. (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Tirmidzi)
2. Di kabulkannya doa-doa
Sebagaimana hadis dibawah ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: فِيْهِ سَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ، وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي، يَسْأَلُ اللهَ تَعَالَى شَيْئاً إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، أَشَارَ ـ أَيْ النَّبِيُّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ـ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا» متفق عليه
Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW menyebut pada hari kiamat beliau berkata: padanya terdapat satu waktu dimana seorang muslim yang shalat kemudian minta sesuatu kepada Allah melainkan Allah memberikannya. Nabi mengisyaratkan dengan tangannya waktu diijabahi doa tersebut sedikit”. (Muttafaq ‘Alaih)
Adapun waktu tersebut terdapat beberapa hadis yang memperincinya. Antara lain:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ سَاعَةً لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيْهَا خَبْرًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَهِيَ بَعْدَ الْعَصْرِ) رواه أحمد. قال العراقي: صحيح.
Dari Said dan Abi Hurairah ra. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: sesungguhnya dalam hari jumat terdapat satu waktu dimana jika seorang hamba mencocoki dalam berdoanya (meminta kepada Allah) suaatu kebaikan niscaya Allah akan memberikannya, waktu tersebut adalah setelah Ashar)’. (HR. Ahmad)
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (يَوْمُ الْجُمُعَةِ اِثْنَتَا عَشْرَةَ سَاعَةً مِنْهَا سَاعَةٌ لاَ يُوْجَدُ عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ الله تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ آتاَهُ إِيَاهُ: وَالْتَمَسُوْهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ) رواه النسائي وأبو داود والحاكم في المستدرك وقال صحيح على شرط مسلم، وحسن الحافظ إسناده في الفتح.
Dari Jabir ra. Dari Nabi SAW bersabda: hari jumat itu dua belas jam diantaranya terdapat satu saat dimanatidak didapati seorang muslim meminta kepada Allah melainkan akan diberikannya. Carilah oleh kalian di akhir waktu setelah Ashar”. (HR. Nasa’i, Abu Dawud dan Hakim)
Dalam hadis lain yang di riwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud dari Abu Musa ra. Bahwa dia mendengar Nabi SAW berkata dalam hal waktu dikabulkannya doa. Beliau berkata: waktu tersebut adalah diantara duduknya imam yaitu di atas mimbar sampai selesainya shalat.
.
3. Disunnahkan memperbanyak shalawat kepada Nabi SAW
Sebagimana hadis dibawah ini:
أَكْثِرُوا مِنْ الصَّلَاةِ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ , وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ " أخرجه البيهقي 3 / 249 ) ، وحسَّنه الأرنؤوط
“Perbanyaklah olehkalian shalawat kepadaku pada hari jumat dan malam jumat. (HR. al-Baihaqi) dan telah dihasankan oleh Arnauth
4. Disunnahkan membaca surat al-Kahfi
Sebagaimana sabda nabi:
عن أبي سعيد الخدري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنْ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ) رواه النسائي والبيهقي
Dari Abu Said al-khudriyi bahwa Nabi SAW bersabda: barang siapa yang membaca surat al kahfi pada hari jumat maka Allah akan memberikan cahaya diantara dua jumat tersebut. (HR Nasa’i dan Baihaqi)
5. Disunnahkan berhias-hias diri memakai wangi-wangian
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ الغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَلْبَسُ مِنْ صَالِحِ ثِيَابِهِ، وَإِنْ كاَنَ لَهُ طَيِّبٌ مَسَّ مِنْهُ) رواه أحمد والشيخان
Dari Abu Said al Khudriyy ra. Dari Nabi saw bersabda: atas seorang muslimlah mandi pada hari jumat dan memakai baju yang paling bagus jika ia mempunyai minyak wangi hendaklah ia pakai”. (HR. Ahmad dan Bukhari Muslim)

Hukum shalat jumat
Para ulama sepakat bahwa shalat jumat merupakan fardhu ain bagi laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak, solat jumat tidaklah wajib hukumnya.
Perintah shalat jumat terdapat dalam al Quran surat al-Jumuah ayat 9.
َا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (9)

Dan hadis yang diriwayatkan oleh abu Dawud dari Thariq bin Syihab ra. Dengan demikian hukumnya Fardhu (wajib). Bagi orang yang menyepelekan shalat jumat sehingga meninggalkannya sampai tiga kali di cap sebagai orang munafik. (HR. Muslim)
Dalam hadis yang lain
مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ جُمُعٍ تَهَاوُناً، طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِهِ» رواه الخمسة عن أبي الجَعْد الضَّمْري
Barang siapa yang meninggalkan jum’ah tiga kali karena meremehkan, maka Allah SWT menutup hatinya”. (HR. Imam Lima)
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلاً يُصَلّيِ بِالنَّاسِ، ثُمَّ أُحَرِّقُ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُوْنَ عَنِ الْجُمُعَةِ بُيُوْتَهُمْ» (4) رواه أحمد ومسلم عن ابن مسعود
Sungguh aku menginginkan untuk memerintah seseorang untuk menjadi Imam shalat bagi manusia kemudian aku membakar rumahnya orang-orang yang tertinggal dari jumah”. (HR. Ahmad dan Muslim)
عَنْ طَارِقٍ بْنِ شِهَابٍ رَضِيَ الله عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٍ عَبْدِ مَمْلُوكٍ ، أْوِ امْرَأَةٍ ، أَوْ صَبِىٍّ ، أَوْ مَرِيضٍ رواه أبو داود (تعليق الذهبي قي التلخيص : صحيح)
Dari Thoriq bin Syihab ra. Dari Nabi SAW bersabda: jumat itu kewajiban atas setiap Muslim dalam jamaah kecuali empat golongan, yaitu: hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sakit”. (HR. Abu Dawud) Adzahabi dalam Talkhis berkata: hadis ini shahih
Selengkapnya...