Sabtu, 21 Juli 2012

KUMPULAN FATWA SHOLAT SUNNAH IFTITAH QIYAMUR RAMADHAN/SHOLAT TARAWIH MAJELIS TARJIH DAN TAJDID PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

Disampaikan oleh : Sholihin, MA

1. DALIL SHOLAT IFTITAH

Shalat Iftitah Tarawih dua rakaat adalah masyru’ (disyari’atkan), dan ada petunjuk dari Rasulullah saw, serta telah menjadi keputusan Tarjih, dan telah dilaksanakan di berbagai daerah. Adapun dalilnya ialah:

1- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيَفْتَتِحْ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ (رواه مسلم، 1، كتاب صلاة المسافرين و قصرها: 198/768.)

2- عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ صَلاَتَهُ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ قَالَتْ كَانَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (رواه مسلم، 1، كتاب صلاة المسافرين و قصرها: 198/768.)

3- عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ اْليَمَانِ قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَتَوَضَّأَ وَ قَامَ يُصَلِّي، فَأَتَيْتُهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَرِهِ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَقَالَ سُبْحَانَ (اللهِ) ذِي اْلمُلْكِ وَالْمَلَكُوتِ وَاْلعِزَّةِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ (أخرجه الطبرانى في الأوسط: رجاله موثقون، ومقررات مجلس الترجيح المحمدية صفحة: 350)

4- عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ (فِي قِصَّةِ مَبِيتِهِ عِنْدَ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا) فَصَلَّى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَدْ قَرَأَ فِيهِمَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى حَتَّى صَلَّى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ … (رواه أبو داود، ومقررات مجلس الترجيح المحمدية صفحة: 350)
Artinya:
1. “Dari Abi Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila salah satu di antara kamu mengerjakan shalat Lail, maka bukalah shalatnya (shalat Iftitah) dengan dua rakaat ringan (pendek).” (HR. Muslim, I, Kitab Shalat al-Musafirin dan mengqasarnya, No. 198/768)

2. “Dari Abdir Rahman bin Auf, ia berkata: Saya bertanya kepada Aisyah Ummul Mukminin: Dengan membaca apa Nabi saw apabila membuka shalatnya (shalat Iftitah) pada shalat malam (shalat Lail)? Aisyah berkata:


اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

(Ya Allah, Tuhan Malaikat Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui perkara gaib dan syahadah (yang dapat dilihat), Engkau memutuskan antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang mereka berselisih, tunjukilah aku kepada kebenaran ynag diperselisihkan dengan izin-Mu, Engkaulah yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus).” (HR. Muslim, I, Kitab Shalat al-Musafirin dan mengqasarnya: 198/758)

3. “Dari Khuzaifah bin al-Yaman, ia berkata: Saya mendatangi Nabi saw pada suatu malam, kemudian beliau berwudhu dan mendirikan shalat, lalu saya mendatanginya ikut shalat dan berdiri di sebelah kirinya, lalu beliau menempatkan saya di sebelah kanannya, lalu beliau mengucapkan:
سُبْحَانَ (اللهِ) ذِي اْلمُلْكِ وَالْمَلَكُوتِ وَاْلعِزَّةِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
(Mahasuci Allah yang memiliki kekuasaan, kerajaan, keperkasaan, kekuasaan yang besar, kebesaran dan keagungan).” (HR. ath-Thabarani, dalam al-Ausath, para perawinya dapat dipercaya; lihat juga HPT (Himpunan Putusan Tarjih), hlm. 350)

4. “Dari Ibni Abbas, ia berkata (tentang kisah mabit (bermalam) Nabi di rumah Maimunah r.a.). Lalu Rasulullah saw shalat dua rakaat yang ringan (pendek), beliau membaca Ummul Qur’an (al-Fatihah) pada masing-masing rakaat, lalu (menutup shalat) dengan salam. Kemudian shalat sebelas rakaat, dengan witir …” (HR. Abu Dawud; lihat HPT, hlm. 350)

Hadits pertama memerintahkan agar shalat Iftitah dua rakaat yang ringan (pendek), sebelum shalat Lail. Hadits kedua menjelaskan bahwa doa iftitah yang dibaca sesudah takbir ihram (takbir iftitah), sebelum al-Fatihah ialah Allaahumma rabba jibriila … . Hadits ketiga menjelaskan bahwa doa iftitah yang dibaca sesudah takbir ihram ialah Subhaanallaah dzii … . Hadits keempat menjelaskan bahwa cukup membaca al-Fatihah, tidak perlu membaca surat lainnya. (Inilah yang dimaksudkan dengan khafifatain (ringan).

Pertanyaan ketiga, mengenai shalat sunat iftitah sebelum shalat tarawih boleh dilakukan dengan berjamaah, seperti tersebut di dalam hadits yang bersumber pada shahabat Ibnu Abbas ra, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lainnya, kata Ibnu Abbas:

بِتُّ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً وَهُوَ عِنْدَ مَيْمُوْنَةَ، فَقَامَ حَتَّي ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفُهُ اسْتَيْقَظَ فَقَامَ إِلَى شِنٍ فِيْهِ مَاءٌ فَتَوَضَّأَ وَتَوَضَّأْتُ مَعَهُ، ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ عَلَى يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَلَى يَمِيْنِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِي كَأَنَّهُ يَمُسُّ أُذُنِي كَأَنَّهُ يُوْقِظُنِي، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ، قَدْ قَرَأَ فِيْهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ، ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى حَتَّي إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةٍ بِالْوِتْرِ ثُمَّ نَامَ فَأَتَاهُ بِلاَلُ فَقَالَ: الصَّلاَةُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَقَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ صَلَّى بِالنَّاسِ. [رواه أبو داود عن ابن عباس].

Artinya: “Aku bermalam di rumah Rasulullah saw pada suatu malam, ketika itu beliau berada di rumah Maimunah, lalu setelah lewat sepertiga atau seperdua malam beliau bangun dan pergi menuju ke tempat air lalu berwudlu, dan berwudlu pula kau bersama beliau. Kemudian beliau berdiri, aku di samping kirinya, lalu beliau menempatkan aku di sebelah kanannya, beliau meletakkan tangannya atas kepalaku seakan-akan beliau mengusap telingaku, seolah-olah beliau membangunkanku. Lalu Nabi saw shalat ringan dua rakaat hanya membaca Ummul Qur’an (surat Al-Fatihah) saja pada tiap rakaat, kemudian salam. Kemudian beliau shalat sampai sebelas rakaat bersama witir. Kemudian beliau tidur. Sesudah itu (sebentar kemudian) datanglah Bilal dan berkata: Shalat ya Rasulallah, maka beliau pun berdiri dan shalat dua rakaat (shalat sunat shubuh atau fajar), kemudian baru beliau shalat (berjamaah) bersama orang banyak.” [HR. Abu Dawud dari Ibnu Abbas].

Dari hadits tersebut, jelas sekali bahwa shahabat Ibnu Abbas mengerjakan shalat iftitah ma’mum bersama Nabi saw. Hanya perlu perhatian bahwa shalat sunat dilakukan Nabi saw di rumah beliau, bukan di masjid. Tetapi kebanyakan kita sekarang ini melakukan ibadah sunat di masjid; seperti shalat tarawih datang ke masjid, belum melakukan shalat iftitah karena ingin mengerjakan shalat fardlu Isya secara berjamaah lebih dahulu. Sesudah selesai shalat berjamaah Isya, tentu tidak pulang ke rumah lagi karena ingin mendengar ceramah, ini juga suatu kebaikan. Setelah mendengar ceramah baru dilakukan shalat iftitah secara berjamaah atau boleh saja sendiri-sendiri, tetapi dengan berjamaah akan lebih afdhal. Pendek kata, agama itu mudah, tetapi jangan dimudah-mudahkan.

2. CARA PELAKSANAAN SHOLAT IFTITAH (Sendiri-sendiri atau Berjamaah)

Dalam hal ini kita bisa membaca ulang bagaimana cara Rasulullah melakukan shalat iftitah. Adapun hadits-hadits yang bisa dijadikan dasar dalam pelaksanaan shalat iftitah sebagai berikut:

1- عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ بَاتَ عِنْدَ مَيْمُونَةَ وَهِيَ خَالَتُهُ فَاضْطَجَعْتُ فِي عَرْضِ وِسَادَةٍ وَاضْطَجَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَهْلُهُ فِي طُولِهَا فَنَامَ حَتَّى انْتَصَفَ اللَّيْلُ أَوْ قَرِيبًا مِنْهُ فَاسْتَيْقَظَ يَمْسَحُ النَّوْمَ عَنْ وَجْهِهِ ثُمَّ قَرَأَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ آلِ عِمْرَانَ ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى شَنٍّ مُعَلَّقَةٍ فَتَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي فَصَنَعْتُ مِثْلَهُ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبهِ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رَأْسِي وَأَخَذَ بِأُذُنِي يَفْتِلُهَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ ثُمَّ اضْطَجَعَ حَتَّى جَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الصُّبْحَ. [رواه البخارى، باب ما جاء فى الوتر]
2- عَنْ مَخْرَمَةَ بْنِ سُلَيْمَانَ أَنَّ كُرَيْبًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّيْلِ قَالَ بِتُّ عِنْدَهُ لَيْلَةً وَهُوَ عِنْدَ مَيْمُونَةَ فَنَامَ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفُهُ اسْتَيْقَظَ فَقَامَ إِلَى شَنٍّ فِيهِ مَاءٌ فَتَوَضَّأَ وَتَوَضَّأْتُ مَعَهُ ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ عَلَى يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَلَى يَمِينِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى رَأْسِي كَأَنَّهُ يَمَسُّ أُذُنِي كَأَنَّهُ يُوقِظُنِي فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ قَدْ قَرَأَ فِيهِمَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى حَتَّى صَلَّى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ ثُمَّ نَامَ فَأَتَاهُ بِلاَلٌ فَقَالَ الصَّلاَةُ يَا رَسُولَ اللهِ فَقَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى لِلنَّاسِ. [رواه ابو داود]



Keterangan:


Hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dari Aisyah) dan hadits kedua (hadits riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah) menjelaskan bahwa Ibnu Abbas pernah bermalam di tempat Maemunah, ketika waktu telah habis dua pertiga malam atau setengah malam Nabi saw bangun dari tidurnya kemudian berwudlu lalu berdiri (untuk melaksanakan shalat) dan ia (Ibnu Abbas) berdiri di sebelah kirinya dan beliau memindahkan Ibnu Abbas ke sebelah kanannya kemudian beliau melaksanakan shalat dua rakaat ringan-ringan. Dan dari kedua hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan shalat khafifatain sebagaimana pelaksanaan qiyamu Ramadhan sebelas rakaat dapat dilaksanakan secara berjamaah.

3. BACAAN DO’A IFTITAH PADA SHOLAT IFTITAH

Untuk membahas masalah ini, kita coba mengkaji kembali apa yang telah diputuskan oleh Majlis Tarjih pada tahun 1972 yang tercantum dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), dengan cara membandingkan teks matan hadis Nabi saw yang terdapat dalam HPT dan membuka kembali kitab yang dijadikan rujukan oleh HPT dalam pengambilan keputusan atau dengan membaca hadis-hadis lain yang kemungkinan bisa dijadikan sebagai pegangan dalam menetapkan do’a iftitah yang dibaca ketika melakukan shalat khafifatain.
Dalam HPT hal. 342 disebutkan bahwa pada raka’at pertama dari shalat khafifatain setelah takbiratul ihram hendaklah membaca:

سُبْحَانَ ذِى الْمُلْكِ وَ الْمَلَكُوْتِ وَاْلِعزَّةِ وَالْجَبَرُوْتِ وَالْكِبْرِِياَءِ وَاْلعَظَمَةِ.

Dengan beralasan pada dalil no. 19 hal. 350 yang redaksinya sebagai berikut:

وَلِحَدِيْثِ خُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِىَّ صلعم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَتَوَضَّأَ وَقَامَ يُصَلِّى، فَأَتَيْتُهُ فَقُمْت عَنْ يَسَارِهِ فَأقَامَنِى عَنْ يَمِيْنِهِ فَقَالَ (سُبْحَانَ ذِى الْمُلْكِ – الْحَدِيْث (أخرجه الطبرانى فى الأوسط وقال فى مجمع الزوائد: رجاله موثّقون)

Dari uraian di atas jelas bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Ath-Thabrany dalam kitab al-Ausath, ia mengatakan dalam kitab Majma’ az-Zawaid: bahwa perawinya orang-orang terpercaya.
Setelah dibuka kembali kitab Majma’ az-Zawaid yang dijadikan rujukan oleh HPT, ternyata ada perbedaan redaksi teks matan hadis yang dikemukan oleh HPT dengan apa yang terdapat dalam kitab Majma az-Zawaid wa Manba' al-Fawaid dan kitab al-Mu’jam al-Ausath. Dalam kitab Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, karangan Nuruddin Ali bin Abi Bakar al-Haisamy, Jilid 2 hal. 107, redaksinya sebagai berikut:

وَعَنْ خُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَتَوَضَّأَ وَقَامَ يُصَلِّى فَأَتَيْتُهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ قَأَقَامَنِى عَنْ يَمِيْنِهِ فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ ذِى الْمَلَكُوْتِ وَالْجَبَرُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ. [رواه الطبرانى فى الأوسط ورجاله موثّقون]

Dan dalam kitab “al-Mu’jam al-Ausath” karangan ath-Thabrany, redaksinya sebagai berikut:

وَ عَنْ خُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَتَوَضّأَ وَقَامَ يُصَلِّى فَأَتَيْتُهُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَأَقَامَنِى عَنْ يَمِيْنِهِ فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ ذِى الْمَلَكُوْتِ وَالْجَبَرُوْتِ وَالْكِبْرِيَاء وَالْعَظَمَةِ.

Do’a iftitah yang terdapat dalam teks matan hadis kitab Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid sama persis redaksinya, dan apabila kita membandingkan teks hadis Nabi saw yang terdapat dalam HPT dan kitab Majma’ az-Zawaid tersebut, ada beberapa perbedaan. Kalau teks hadis yang terdapat dalam kitab Majma’ az-Zawaid tersebut dijadikan dasar, maka teks hadis yang terdapat dalam HPT hendaknya disesuaikan dengan teks hadis yang terdapat dalam kedua kitab tersebut karena dalam teks tersebut ada beberapa lafaz tambahan, yaitu al-Mulk, al-‘Izzati dan ada kekurangan, yaitu lafaz “ Allah”, setelah lafaz “Subhana”.
Jadi, do'a iftitah yang dibaca pada shalat dua rakaat khafifatain tersebut adalah:

سُبْحَانَ اللهِ ذِى الْمَلَكُوْتِ وَالْجَبَرُوْتِ وَالْكِبْرِيَاء وَالْعَظَمَةِ.
Selanjutnya, apabila kita membuka kitab-kitab hadis lain, maka ditemukan do’a iftitah lain yang biasa dibaca oleh Nabi saw ketika melakukan shalat lail. Do’a iftitah tersebut berdasarkan pada beberapa hadis sebagai berikut:

(1) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَأَبُو مَعْنٍ الرَّقَاشِيُّ قَالُوا حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ صَلاَتَهُ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ قَالَتْ كَانَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ. [مسلم، كتاب صلاة المسافرين وقصرها، باب الدعاء فى صلاة الليل: 1289]
(2) أَخْبَرَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ قَالَ أَنْبَأَنَا عُمَرُ بْنُ يُونُسَ قَالَ حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ صَلاَتَهُ قَالَتْ كَانَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ قَالَ اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنْ الْحَقِّ إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ. [النسائ، كتاب قيام الليل وتطوع النهار، باب بأى شيئ تستفتح صلاة الليل: 1607]

Wallahu a'lam bish-shawab. *A.56h)



Maka urut-urutannya sebagai berikut: a. Niat, b. Takbir ihram, c. Membaca doa iftitah, d. Membaca al-Fatihah, e. Ruku, dan seterusnya. sd*)

Selengkapnya...

Selasa, 17 Juli 2012

KUMPULAN FATWA QIYAMUR RAMADHAN/SHOLAT TARAWIH MAJELIS TARJIH DAN TAJDID PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

Disampaikan oleh : Sholihin, MA
1. PENDAHULUAN

Shalat lail adalah shalat sunat yang biasa dilakukan oleh Nabi saw pada waktu malam hari. Menurut Muhammadiyah shalat lail disebut juga shalat tahajjud, witir, qiyamul-lail dan qiyamu Ramadhan. (lihat HPT hal. 341)
Shalat lail disebut shalat tahajjud karena shalat tersebut dilaksanakan setelah bangun tidur. Disebut shalat witir karena dalam melaksanakan shalat tersebut diakhiri dengan witir (bilangan ganjil). Disebut qiyamul-lail karena shalat tersebut dilaksanakan hanya pada waktu malam. Disebut qiyamu Ramadhan karena shalat tersebut dilakukan pada bulan Ramadhan dan istilah yang sering digunakan untuk shalat lail di bulan Ramadhan adalah shalat tarawih, karena dalam shalat malam tersebut dilaksanakan dengan bacaan yang bagus dan lama dan setelah empat rakaat pertama dan kedua ada istirahat sebentar.
2. WAKTU YANG LEBIH UTAMA

Shalat tarawih yang lebih utama (afdhal), dilakukan pada waktu larut malam, dikerjakan di masjid dengan berjama’ah. Rasulullah saw keluar ke masjid beberapa malam dan waktu sudah larut malam, kemudian berjama’ah dengan para shahabat dan selesainya hampir menjelang waktu sahur. Namun demikian boleh juga shalat tarawih dikerjakan pada awal malam sesudah shalat isya’ dengan berjamaah di masjid untuk mengejar pahala jama’ahnya.
Shalat tarawih menurut tuntunan Nabi saw adalah sebelas rakaat dengan witirnya. Dikerjakan dengan cara empat rakaat lalu salam tanpa tahiyyat awal, kemudian empat rakaat lalu salam, dan ditutup dengan shalat witir tiga rakaat lalu salam. Seperti yang tersebut di dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً ... [رواه البخاري ومسلم] .

Artinya: Dari Abi Salamah Ibnu Abdir-Rahman (dilaporkan) bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadan. Aisyah menjawab: Nabi saw tidak pernah melakukan shalat sunnat (tathawwu‘) di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya, kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi tiga rakaat ... [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Shalat Tarawih sebelas rakaat rujukannya adalah hadis dari ‘Aisyah r.a. yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud, At-Tirmizi, An-Nasa’i, Malik, Ahmad dan Baihaqi. Hadis tersebut sangat-sangat kuat, tidak ada dalam sanadnya perawi yang lemah dan dipedomani Majelis Tarjih Muhammadiyah sebagaimana termuat dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) halaman : 174 dan halaman : 185-186.




3. RAGAM CARA SHALAT TARAWIH 4 RAKAAT SALAM dan DUA RAKAAT SALAM

Penjelasan singkat tentang sebab-sebab perbedaan pendapat ulama, antara lain sebagai berikut:
1. Karena perbedaan makna lafadz
2. Karena masalah pemahaman hadis (nash)
3. Karena berbenturan suatu dalil dengan pegangan pokok antara seorang dengan lainnya.
4. Masalah Ta‘arudl dan Tarjih
5. Perbedaan pandang terhadap dalil yang dipandang sahih oleh sebahagian ahli dan tidak sahih menurut sebahagian lainnya.

Berikut ini kami sebutkan lebih dahulu beberapa hadis yang berhubungan dengan shalat malam (qiyamul-lail/qiyamu Ramadan), terjemahnya, serta penjelasan¬-penjelasannya, sebelum sampai pada kesimpulannya.

Dalil-dalil Cara Sholat Tarawih 4 Rokaat Salam (4-4-3)


1. Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.

عَنْ عَائِشَةَ حِيْنَ سُئِلَتْ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً [رواه البخاري ومسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ketika ia ditanya mengenai shalat Rasulullah saw di bulan Ramadhan. Aisyah menjawab: Nabi saw tidak pernah melakukan shalat sunnat di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana bagus dan indahnya. Kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]


Dalil-dalil Cara Sholat Tarawih 2 Rokaat Salam (2-2-2-2-2-1)

1. Hadis Nabi saw riwayat al-Muslim dari Aisyah r.a.

قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاَةِ اْلعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ اْلعَتَمَةَ إِلَى اْلفَجْرِ اِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ مَا بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ. [رواه مسلم]
Artinya: “Aisyah r.a. berkata: Pernah Rasulullah saw shalat pada waktu antara Isya’, dan Subuh, - yang dikenal orang dengan istilah ‘atamah”, sebanyak sebelas raka’at, yaitu beliau salam pada tiap-tiap dua rakaat, dan beliau shalat witir satu raka’at.” [HR. Muslim]

2. Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.


قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ ثَلاَثََ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ وَلاَ يَجْلِسُ فِي شَيْئٍ مِنْهُنَّ إِلاَّ فِي آخِرِهِنَّ. [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Aisyah r.a. berkata: Pernah Rasulullah saw shalat malam tiga belas raka’at, beliau berwitir lima raka’at dan beliau tidak duduk antara raka’at-raka’at itu melainkan pada akhirnya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

3. Hadits Nabi Riwayat Abu Dawud dari Zaid Bin Kholid Al-Juhaini

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّهُ قَالَ لَأَرْمُقَنَّ صَلاَةَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّيْلَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ أَوْتَرَ فَذَلِكَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً. [رواه ابو داود باب فى صلاة الليل]

Artinya: "Diriwayatkan dari Zaed bin Khalid al-Juhany ia berkata, sungguh saya mencermati shalat Rasulullah saw. pada suatu malam, beliau shalat dua rakaat yang ringan-ringan, kemudian shalat dua rakaat yang panjang (lama) sekali, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu shalat dua rakaat yang lebih pendek dari dua rakaat sebelumnya, lalu kemudian melakukan witir. Maka demikianlah, shalat tigabelas rakaat." [HR Abu Dawud, bab fi Shalat al-Lail]


Penjelasan:

Hadits Riwayat Al-Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah RA menunjukkan bahwa Nabi saw shalat malam di bulan Ramadhan delapan raka’at dengan dua kali salam, artinya tiap empat raka’at sekali salam, kemudian dilanjutkan shalat witir tiga raka’at dan salam.
Hadis no. 1, menunjukkan bahwa Nabi saw pernah melakukan shalat malam dengan kaifiyah dua raka’at lima kali salam dan witir satu raka’at. Hadis no. 2, menunjukkan bahwa Nabi saw shalat delapan raka’at, tetapi tidak diterangkan berapa kali salam. Hadits no.3 menunjukkan bahwa Nabi saw sholat 13 rokaat, 2 rokaat sholat iftitah dilanjutkan sholat lail 11 rokaat, salam setiap 2 rokaat dan witir satu rokaat.
Mungkin timbul pertanyaan, dari mana kita memperoleh pengertian sesudah shalat empat raka’at lalu salam? Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut: Pertama dari perkataan كَيْفَ (bagaimana) yang menunjukkan bahwa yang ditanya tentang kaifiyah shalat qiyamu Ramadlan disamping juga menerangkan jumlah raka’atnya. Kedua, kaifiyah itu diperoleh dari lafadz يُصَلِّي أَرْبَعًا . Lafadz itu mengandung makna bersambung (الوصل) secara dzahir (ظاهر); yakni menyambung empat raka’at dengan sekali salam, dan bisa mengandung makna bercerai (الفصل); yakni menceraikan atau memisahkan dua raka’at salam – dua raka’at salam. Namun makna bersambung itu yang lebih nyata dan makna bercerai jauh dari yang dimaksud (بَعِيْدٌ مِنَ اْلمُرَادِ). Demikian ditegaskan oleh Imam ash-Shan’ani dalam kitab Subulus-Salam (Juz 2: 13).

Hadis Aisyah ini menerangkan dalam satu kaifiyah shalat malam Nabi saw, disamping kaifiyah yang lainnya. Hadis Aisyah ini harus diamalkan secara utuh baik raka’at dan kaifiyahnya. Hadis Aisyah ini tidak ditakhshish oleh hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (shalat malam harus dua raka’at, dua raka’at), dan hadis tersebut tidak mengandung pengertian “Hashar” seperti dikatakan oleh Muhammad bin Nashar. Imam an-Nawawi dalam syarah Muslim mengatakan, shalat malam dengan empat raka’at boleh sekali salam (تسلمة ولحدة) dengan ungkapan beliau وهذا ليبان الجواز (salam sesudah empat raka’at menerangkan hukum boleh (jawaz)). Perkataan an-Nawawi tersebut dikomentari oleh Nashiruddin al-Albaniy dalam bukunya “صلاة التراويح” sebagai berikut:

وَصَدَقَ رَحِمَهُ اللهُ فَقَوْلَ الشَّافِعِيَّةُ: "يَجِبُ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَإِذَا صَلاَّهَا بِسَلاَمٍ وَاحِدٍ لَمْ تَصِحُّ"، كَمَا فِي اْلفِقْهِ عَلَي اْلمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَشَرْحِ اْلقَسْطَلاَنِي عَلَي اْلبُخَارِي وَغَيْرِهَا خِلاَفُ هَذَا اْلحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَمَنَافٌ لَقَوْلِ النَّوَوِي بِاْلجَوَازِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ اْلعُلَمَاءِ اْلمُحَقِّقِيْنَ فِي اْلمَذْهَبِ الشَّافِعِي فَلاَ عَذْرَ لِأَحَدٍ يُفْتِي بِخَلاَفِهِ. [صلاة التراويح، ص: 17-18]

Artinya: “Dan sungguh benar ucapan Imam an-Nawawi rahimahullah itu, maka mengenai pendapat ulama-ulama Syafi’iyyah bahwa wajib salam tiap dua raka’at dan bila shalat empat raka’at dengan satu salam tidak sah, sebagaimana terdapat dalam kitab fiqih mazhab empat itu dan uraian al-Qasthallani terhadap hadis al-Bukhari dan lainnya, hal itu menyalahi hadis (Aisyah) yang shahih itu serta menafikan terhadap ucapan (pendapat) an-Nawawi yang mengatakan hukum boleh (jawaz) itu. Padahal an-Nawawi salah seorang ulama besar ahli tahqiq dalam mazhab Syafi’i, hal itu tidak bisa ditolerir (dibenarkan) bagi siapapun juga berfatwa menyalahi ucapan beliau itu.” [Shalatut-Tarawih, hal 17-18]

Sebagaimana diketahui hadis Aisyah itu yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim sangat kuat (rajih) dibanding dengan hadis-hadis lainnya tentang qiyamu Ramadlan. Sehubungan hal itu Ibnu al-Qayyim al-Jauzi menulis di dalam kitab Zadul Ma’ad:

وَإِذَا اخْتَلَفَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَي شَيْئٍ مِنْ أَمْرِ قِيَامِهِ بِاللَّيْلِ، فَاْلقَوْلُ مَا قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا – حَفِظَتْ مَا لَمْ يَحْفَظِ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَهُوَ اْلأَظْهَرُ لِمُلاَزَمَتِهَا لَهُ وَلِمَرْعَاتِهَا ذَلِكَ، وَلِكَوْنِهَا أَعْلَمُ اْلخُلُقِ بِقِيَامِهِ بِاللَّيْلِ، وَابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّمَا شَاهِدُهُ لَيْلَةَ اْلمَبِيتِ عِنْدَ خَالَتِهَا (مَيْمُونَةٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا). [زاد المعاد: 1: 244]

Artinya: “Dan apabila berbeda riwayat lbnu Abbas dengan riwayat Aisyah dalam sesuatu hal menyangkut shalat malam Nabi saw, maka riwayat yang dipegang adalah riwayat Aisyah r.a. Beliau lebih tahu apa yang tidak diketahui Ibnu Abbas, itulah yang jelas, karena Aisyah selalu mengikuti dan memperhatikan hal itu, Aisyah orang yang lebih mengerti tentang shalat malam Nabi saw, sedangkan Ibnu Abbas hanya menyaksikannya ketika bermalam di rumah bibinya (Maimunnah r.a.). [Zadul Ma’ad, 1: 244]
Diinformasikan oleh Imam asy-Syaukani, bahwa kebanyakan ulama mengatakan, shalat tarawih dua raka’at satu salam hanya sekedar menunjukkan segi afdlal (utama) saja, bukan memberi faedah Hashar (wajib), karena ada riwayat yang sahih dari Nabi saw, bahwa beliau melakukan shalat malam empat raka’at dengan satu salam. Hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى hanya untuk memberi pengertian/ menunjuk (irsyad) kepada sesuatu yang meringankan saja, artinya shalat dua raka’at dengan satu salam lebih ringan ketimbang empat raka’at sekali salam.
Lebih jauh disebutkan dalam kitab Nailul-Authar, memang ada perbedaan pendapat antara ulama Salaf mengenai mana yang lebih utama (afdlal) antara menceraikan (الفصل = memisahkan 4 raka’at menjadi 2 rakaat satu salam, 2 rakaat satu salam) dan bersambung (الوصل = empat raka’at dengan satu), sedangkan Imam Muhammad bin Nashar menyatakan sama saja afdlalnya antara menceraikan (الفصل) dan bersambung (الوصل), mengingat ada hadis sahih bahwa Nabi saw berwitir lima raka’at, beliau tidak duduk kecuali pada raka’at yang kelima, serta hadis-hadis lainnya yang menunjukkan kepada bersambung (الوصل). [Nailul-Authar: 2: 38-39]
Mengenai pendapat/ fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu‘ Fatawanya dan Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah Fauzan dalam bukunya الملخص الفقهي yang mengatakan shalat empat raka’at sekali salam itu salah dan menyalahi sunnah, pendapat itu justru menentangkan sunnah dan terkesan ekstrim. Hal itu sama juga dengan pendapat sementara orang di Indonesia yang menyatakan shalat empat raka’at dengan satu salam adalah ngawur, mereka itu sangat terpengaruh dengan pendapat sebahagian ulama Syafi’i yang fanatik dalam hal tersebut seperti disebutkan oleh Muhammad Nashiruddin al-Albaniy (Kalau ingin memperluas uraian ini merujuklah kepada kitab-kitab shalat Tarawih karangan al-Albaniy itu).
Menurut hemat kami Syeikh Abdul Aziz bin Bas, dalam bidang akidah berpegang kepada ajaran yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, sedang dalam bidang fiqih sangat dipengaruhi oleh paham Ahmad bin Hambal (Hanbali), dan itu umum dianut penduduk Saudi Arabia.
Ahli hadis Indonesia seperti Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy (dalam bukunya Pedoman Shalat hal 514; begitu juga dalam “Koleksi Hadis-Hadis Hukum” Juz 5: hal 130), begitu pula A. Hassan pendiri Persatuan Islam, ahli hadis juga, dalam bukunya “Pelajaran Shalat, hal 283-284 kedua beliau itu berpendapat bahwa shalat tarawih/qiyamu Ramadlan empat raka’at sekali salam adalah sah, itu salah satu kaifiyah shalat malam yang dikerjakan oleh Nabi saw.
Sebagai informasi tambahan kami kutip di sini apa yang ditulis Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ (syarah al-Muhazzab, juz 5: 55), al-Qadli Husein berpendapat bahwa apabila shalat tarawih dilakukan dua puluh raka’at, maka tidak boleh/ tidak sah dikerjakan, empat raka’at sekali salam, tetapi harus dua raka’at sekali salam, bukan yang dimaksud oleh beliau itu shalat tarawih delapan raka’at.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil kaji ulang kami sebagaimana uraian/ penjelasan di atas, maka menurut hemat kami hadis tentang shalat tarawih empat raka’at sekali salam tidak bermasalah, baik dari sisi matan maupun sanadnya. Dalam buku Tuntunan Ramadan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Majalah Suara Muhammadiyah, telah disebutkan bahwa jumlah raka’at shalat tarawih empat raka’at salam dan dua raka’at salam merupakan tanawu’ dalam beribadah, sehingga keduanya dapat diamalkan.
Wallahu ‘alain bish shawab. *th)
Selengkapnya...

Selasa, 15 Mei 2012

DZIKIR DAN DOA SESUDAH SHALAT

Dzikir adalah sesuatu yang sangat urgen sebagai senjata bagi setiap muslim. Dzikir ini tidak boleh tertinggal bagi setiap muslim sebab dzikir merupakan sarana untuk mengingat Allah SWT Terlebih lagi setelah selesai melaksanakan shalat. Di bawah ini beberapa hal tuntunan dzikir setelah shalat. Selengkapnya...

Sabtu, 12 Mei 2012

SHALAT ‘IDAIN (DUA HARI RAYA)

 Shalat Id adalah shalat yang disyariatkan pada pertama hijrah. berdasarkan hadis dibawah ini: وعن أنس رضي الله عنه قال: (( قَدِمَ رَسُولُ اللهِ r ( المَدِينَةَ ) وَلهُمْ يَوْمَانِ يَلعَبُونَ فِيهِمَا ، فَقَال : مَا هَذَانِ اليَوْمَانِ؟ قَالُوا : كُنَّا نَلعَبُ فِيهِمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ ، فَقَال رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الفِطْرِ ))(رواه أبو داود وأحمد والنسائي على شرط مسلم ) Dari Anas ra. bahwa Rasulullah SAW datang ke madinah. Pada waktu itu mereka penduduk madinah mempunyai 2 hari yang mana mereka bermain main pada hari tersebut. Lalu Rasuylullah bertanya 2 hari apakah ini ? mereka menjawab : dahulu kami bernmain main pada keduanya pada masa jahiliyah. Rasulullah SAW berkata : sesunggguhnya Allah telah mengganti dengan sesuatu yang lebih baik pada kedua nya. Yaitu hari raya khurban dan Fithri). (HR. Abu Dawud, Ahmad dan Nasa’i atas sesuai Muslim) Shalat Id adalah Shalat yang di kerjakan pada tanggal 1 syawal setelah berpuasa selama 1 bulan penuh dan juga di kerjakan pada hari raya idul adha pada tanggal 10 dzulhijah. Shalat hari raya ini dalah shalat yamg di anjurkan untuk di kerjakan oleh seluruh umat islam dan bahkan nabi SAW memerintahkan semuanya untuk menghadiri shalat termasuk anak anak dan wanita haid untuk menyaksikan shalat id tersebut. Shalat id di kerjakan di lapangaan, atau mushola di kerjakan 2 rakaat tanpa dia awali adzan dan iqomah dan tanpa shalat sunah di kerjakan sebelum sesudahnya. Berdasarkan hadis di bawah ini: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالاَ : لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ ، وَلاَ يَوْمَ الأَضْحَى ، ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِينٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِى قَالَ أَخْبَرَنِى جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الأَنْصَارِىُّ : أَنْ لاَ أَذَانَ لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِينَ يَخْرُجُ الإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا يَخْرُجُ ، وَلاَ إِقَامَةَ ، وَلاَ نِدَاءَ ، وَلاَ شَىْءَ لاَ نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلاَ إِقَامَةَ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رَافِعٍ وَأَخْرَجَهُ الْبُخَارِىُّ مُخْتَصَرًا مِنْ حَدِيثِ هِشَامِ بْنِ يُوسُفَ عَنِ ابْنِ جُرَيْج Dari Ibnu ‘Abbas dan dari Jabir bin Abdillah berkata: tidak pernah pada hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha di azani. Kemudian aku bertanya tentang hal itu kemudian jabir bin abdilah menjawabnya bahwa tidak adzan untuk shalat pada hari raya Idul fitri ketika imam datang dan tidak pula ada iqomah dan seruan. Dan tidak sesuatu pun pada hari itu. عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : خَرَجَ النَّبِيُّ ? يَوْمَ عِيدٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلَا بَعْدَهُمَا . رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ Dari Ibnu Abbas berkata: Nabi SAW keluar pada hari raya Idhul Fitri lalu shalat du rakaat. Beliau tidak shalat sebelum dan sesudahnya (HR. Jamaah) Shalat ini berbeda dengan shalat jum’at. Shalat jumat di awali dengan 1 takdir sedangkan shalat Id di mulai dengan 7 takbir sebelum membaca al Fatihah. Berdasarkan hadis dibawah ini: عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُكَبِّرُ فِى الْفِطْرِ وَالأَضْحَى فِى الأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ وَفِى الثَّانِيَةِ خَمْسًا. “Dari Aisyah ra. sesungguhnya Rasululloh SAW bertakbir dalam shalat idul fitri dan idul adha pada rakaat pertama 7 takbir dan pada rakaat ke dua 5 takbir.(HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad Al Hakim) Hadits ini di sandarkan pada Aisyah dan Abu Hurairah dalam sanadnya ada orang yang bernama Ibnu Lahi’ah sehingga hadits nya lemah. Namun terdapat juga jalur lain yang mendukungnya dari Amr bin Auf, Abdullah bin Amr bin Ash, sehingga hadist ini kedudukanya menjadi Hasan Lighoirihi. Selain itu hal ini juga di dukung dengan perbuatan sahabat seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas dll. Semua mereka bertakbir 7 dan 5 kali kemudian tidak ada 1 hadist pun yang menyelisihi nya yang menyatakan bahwa Rasullullah bertakbir 1 kali. Kemudian Syaikh al-Bani menshahihkan hadis di atas. Kemudian setelah shalat dua rakaat diikuti khutbah ‘Id. Sebagian mazhab menganjurkan 2 khutbah seperti khutbah jum’at seperti hal nya imam syafi’i mngatakan bahwa duduk diantara 2 khutbah adalah sunah hal ini di sandarkan pada hadist riwayat Ibnu Majah. Selengkapnya...

Sabtu, 17 Maret 2012

MILITANSI MUHAMMADIYAH JAWA TIMUR

OLEH : PROF.DR.SYAFEI MAARIF


Di antara 33 Wilayah Muhammadiyah se -Indonesia , Mungkin Muhammadiyah Jawa Timur ( Jatim)yang paling MILITAN. Dalam arti, roda organisasi berputar kencang dalam upaya meraih sasaran program yang telah ditetapkan. Jika Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM)tidak bisa menangani,Pimpinan Pusat Muhammadiyahd ilibatkan. Misalnya, menghadapi kasusu konflik kepentingan di rumah sakit Muhammadiyah Lamongan yang sedikit memalukan, tetapi tidak dibiarkan berlarut. saya pernah mengatakan, pada kasusu-kasus tertentu Muhammadiyah adalah bagian dari kondisi negara yang tidak sehat. ranah-ranah amal usaha yang agak basah kadang-kadang menjadi rebutan warga persyarikatan.Persis apa yang berlaku di republik Indonesia. Dalam Laporan kegiatan PWM Jawa Timur tertanggal 4 desember 2011 yang saya hadiri, di samping banyak sisi putih yang dibentangkan , sisi hitampun disebutkan secara terbuka sebagai pertanda Muhammadiyah Jatim tidak mau menutupi boroknya yang hinggap ditubuhnya.Ini demi membuktikan rasa tanggungjawab yang tinggi bagi perbaikan kinerja organisasi. Saya dulu telah mengunjungi hampir semua PWM di seluruh Indonesia.Saya merasa PWM jatim yang terbanyak membdri kesan positif yang patut dicatat. Semangat juang warga dan pengurusnya dalam beramal sangat terlihat dan terasa bila kita berkunjung di wilayah itu.
SAKING MENGESANKANNYASaya sempat berseloroh sekiranya PP Muhammadiyah tak mampu lagi mengurus persyarikatan,serahkan saja ke PWM Jawa Timur,pasti beres. PWM periode 2010-2015 dipimpin oleh Prof. DR. Thohir Luth MA, seorang anak bangsa yang berasal dari Indonesia bagian timur. Didampingi 12 anggota pimpinan yang lain, semua bergelar sarjana, bahkan tiga pangkat guru besar.

Pimpinan ini secara teratur turun ke pimpinan Daerah muhammadiyah ( PDM )yang jumlahnya sebanding dengan dati II se-Jatim yaitu 38. Muhammadiyah tidak pernah percaya pada angka 13 yang dianggap membawa celaka oleh kultur barat. Terbukti dengan pimpinan wilayah yang bahkan PP berjumlah 13 orang.
Kantor PWM jatim yang berada di jalan Kertomanunggal IV nomor 1,Surabaya, tergolong sedikit mewah,dilengkapi jaringan teknologi informasi ,dan letaknya strategis tidak jauh dari Bandara Juanda. Dari kantor inilah kegiatan organisasi di seluruh jatim diteropong dengan seksama. salah seorang wakil ketua yang membawakan bidang wakaf dan zakat,infak sodaqoh(ZIS) Nurcholis Huda MSi, adalah penulis prolifik yang digemari pembaca.
dalam jawaban SMS-nya kepada saya ( Buya Syafei -red) tentang data amal usaha Muhammadiyah Jatim, terbaca angka-angka berikut:
1. Bidang Kesehatan 101(BKIA Dan Rumah sakit)
2. panti asuhan Yatim 74
3. Panti Wrida 1
4. Semua jenis sekolah tingkat menengah sampai bawah 964
5. universitas 6
6. Sekolah tinggi 18
sepanjang pengetahuan saya, panti asuhan yang terbaik ada di Bojonegoro dan diasuh oleh Bung Wachid, yang sudah tahunan menyatu dengan seluruh denyutan nadi panti ini. Selengkapnya...

Jumat, 24 Februari 2012

KEUTAMAAN SHOLAT BAGI WANITA

Keutamaan Shalat Bagi Wanita
Disarikan oleh: ar fauzi

Pendahuluan
Berbicara tentang shalat, tentu semua akan mengingat batapa pentingnya salah satu rukun islam ini. Pembahasan selanjutnya akan memunculkan pembahasan terhadap hal-hal apa yang bisa menyempurnakan ibadah mahdoh ini. Salah satu penyempurna akan kewajiban shalat adalah melakukannya secara berjama’ah. Bahkan ketika menilik beberapa riwayat yang terekam dalam hadits-hadits nabi saw dan atsar sahabat, Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah. Berikut dalil-dalil yang mensyari’atkan pentingnya berjama’ah:
Artinya: “dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku*'” (al baqarah 43)
*Yang dimaksud Ialah: shalat berjama'ah dan dapat pula diartikan: tunduklah kepada perintah-perintah Allah bersama-sama orang-orang yang tunduk.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً (رواه البخاري)
Artinya: “Dari Abdullah bin Umar sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Shalat berjama’ah lebih utama dibanding shalat sendiri dengan (balasan) 27 derajat” (H.R. Bukhari)

Bahkan dibeberapa riwayat (Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan ibnu Majah) mengisyaratkan betapa pentingnya berjama’ah bahwa nabi mengancam akan membakar rumah-rumah yang penghuninya tidak shalat berjama’ah ke masjid.
Melihat pentingnya shalat berjama’ah tentu ada pertanyaan siapakah yang mendapat kewajiban tersebut?? Apakah untuk semua umat muslim?? Atau kah hanya untuk laki-laki??? karena ada pemahaman berjama’ah identik dengan shalat di masjid, sedangkan untuk perempuan ada dalil yang menyatakan bagi perempuan lebih utama shalat dirumah.

Pemaparan Dalil-Dalil Keutamaan Shalat Berjama’ah Bagi Wanita
Beberapa dalil yang menjelaskan keutamaan shalat berjama’ah bagi wanita:
قَالَ بنُ عَبَّاسٍ: صَلَيتُ إِلَى جَنبِ النَّبِي صلى الله عليه و سلم وَعَائِشَةُ خَلَفنَا تُصَلِّي مَعَنَا وَأَنَا إِلَى جَنبِ النَّبِي صلى الله عليه و سلم أُصَلِّي مَعَهُ (رواه النسائي)
Artinya: “Ibnu Abbas berkata: Aku Shalat disamping Nabi saw sedangkan ‘Aisyah berada dibelakang kami, shalat bersama kami dan saya shalat disamping nabi saw” (H.R. an Nasai)
عَن أُمِّ سَلَمَةَ عَن رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلم اَنَّهُ قَالَ: خَيرُ مَسَاجِدَ النِّسَاءِ قَعرُ بُيُوتِهِنَّ (رواه احمد)
Artinya: “Dari Ummu Salamah dari Rasulullah saw beliau bersabda: sebaik-baiknya masjid bagi perempuan adalah di bilik rumah mereka” (H.R. Ahmad)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَتِ امْرَأَةٌ لِعُمَرَ تَشْهَدُ صَلاَةَ الصُّبْحِ وَالْعِشَاءِ فِي الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسْجِدِ فَقِيلَ لَهَا لِمَ تَخْرُجِينَ وَقَدْ تَعْلَمِينَ أَنَّ عُمَرَ يَكْرَهُ ذَلِكَ وَيَغَارُ قَالَتْ وَمَا يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْهَانِي قَالَ يَمْنَعُهُ قَوْلُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ (رواه البخاري)
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a, dia berkata: pada masa pemerintahan Umar r.a nampak para wanita shalat shubuh, Isya berjam’ah di mesjid. Ditanyakan kepada mereka apa yang menyebabkan mereka melakukan itu padahal Umar r.a tidak menyukai itu. Para wanita tersebut menjawab dengan sabda Rasulullah saw “janganlah kamu melarang wanita-wanita mendatangi masjid-masjid Allah”” (H.R. Bukhari)

Dengan mencermati dalil-dalil tersebut di atas, nampak ada beberapa point penting yang bisa dijadikan pijakan dalam melakukan shalat berjama’ah yang sesuai dengan yang dituntunkan:
1. Hukum shalat berjama’ah hukumnya disyari’atkan (sesuatu yg utama mendekati wajib). Dengan melihat kebiasaan Rasulullah saw belum pernah meninggalkan shalat berjama’ah. Bahkan Rasullulah saw menjelaskan keutamaan shalat berjama’ah itu lebih utama 27 derajat dibandingkan shalat sendiri. Hukum ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan.
2. Masalah tempatnya, ada beberapa hadits yang menyebutkan tempat terbaik bagi perempuan. Yaitu di rumah walaupun tidak boleh ada yang melarang ketika para perempuan ada yang berkeinginan pergi ke masjid untuk berjama’ah. Sedangkan untuk laki-laki pengkhususan tempat itu tidak ada. Ini menandakan bagi laki-laki shalat hendaknya dilakukan di Masjid.
3. Dikarenakan ada dua keterangan yang nampak bertentangan, maka solusi yang di tempuh adalah bagi perempuan ketika tidak ada halangan yang mengharuskan shalat dirumah maka diperbolehkan untuk shalat berjama’ah di mesjid, sedangkan jika hal tersebut tidak memungkinkan maka lakukanlah shalat di rumah dengan berjam’ah. Baik dilakukan bersama anak-anak ataupun menunggu suami yang pulang berjama’ah di mesjid untuk mengimami di rumah. Sebagaimana kebiasaan Mu’adz bin Jabbal yang senantiasa mengimami kaumnya shalat isya setelah dia berjama’ah bersama Rasulullah saw di masjid.

Penutup
Semangat menyempurnakan sebuah kewajiban sepatutnya harus di apresiasi. Semangat tersebut harus terus dibangun sebagai bentuk upaya menjadikan diri sebagai pribadi yang utama dalam rangka membangun pribadi yang islam sebenar-benarnya. Termasuk menyempurnakan kewajiban shalat dengan melengkapi keutamaan-keutamaan yang bisa diupayakan agar ibadah mahdhoh yang dikerjakan tidak sebatas kepada pengguguran sebuah kewajiban. Semoga. Arf*)
Selengkapnya...

Kamis, 02 Februari 2012

JODOH TERBAIK UNTUK ANAK KITA

“ JODOH TERBAIK UNTUK ANAK KITA “
الكاتب : جهارفوزى البغوس

Kewajian Orang tua kepada putra-putrinya adalah menjaga anaknya kembali kepada fitrahnya yakni untuk menyembah kepada Allah SWT (beragama Islam), mendidiknya menjadi anak shaleh dan shalehah. Dan ketika sudah dewasa, orang tua mencarikan jodoh untuknya.
Dalam mencarikan jodoh bagi putra-putrinya, didasarkan pada criteria yang telah dituntunkan Rasulullah SAW. Sabda Beliau :
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: تُنْكَحُ اْلمَرْأَةُ ِلاَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَ لِحَسَبِهَا وَ لِجَمَالِهَا وَ لِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ لِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. رواه الجماعة الا الترمذى
Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal : karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang beragama, (jika tidak) maka celakalah kamu”. [HR. Jama’ah kecuali Tirmidzi]
Kriteria untuk memilihkan jodoh ada 4 hal :
1. Nasab (keturunan)
2. Harta (kekayaan)
3. Pangkat/Jabatan (kedudukan)
4. Agama (keimanan)
Keempat kriteria tersebut dapat dipenuhi, andaikata 3 hal paling atas tidak bisa didapatkan makan point yang ke-4 haruslah ada, yakni keimanan. Sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan apalagi dilupakan. Kunci utama manakala mencari jodoh, menentukan pilihan akan siapa yang akan menjadi jodohku adalah KEIMANAN. Kecantikan, ketampanan, kekayaan dan jabatan yang tinggi janganlah jadi syarat utama, tetapi jadikanlah agama dan keimanan hati sang calon jodoh sebagai hal utama.
Karena rumah tangga yang berpondasi keimanan yang kuat akan tegak berdiri dengan kuat. Firman Allah SWT dalam QS. An Nur : 26
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).
Selain itu pula dalam QS. Mumtahanah : 10
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Kedua firman Allah tersebut menjelaskan bahwa wanita beriman untuk laki-laki beriman dan sebaliknya laki-laki beriman untuk wanita beriman. Sebagai orangtua semestinya telah menyiapkan putra-putri mereka untuk mendapatkan jodohnya. Orangtua senantiasa menjaga keimanan semua anak-anaknya. Sesungguhnya Allah telah menetapkan jodoh, kapankah datang? Secara sunnatullah sesuai dengan ayat diatas laki-laki beriman untuk wanita beriman begitupun sebaliknya. Maka tidak ada pilihan yang paling tepat untuk menacarikan jodoh untuk sang putri dengan laki-laki yang beriman.
Keimanan yang sejalan antara istri dan suami akan membangun rumah tangga yang kokoh dan kuat.
Apabila dalam menentukan jodoh ternyata anak telah memiliki pilihan calon sendiri atau tidak cocok dengan pilihan orang tua maka langkah yang paling jitu adalah untuk saling mengkomunikasikan pilihan-pilihannya. Maka orang tua akan menimbang apakah calon-calon tersebut sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah atau tidak. Jika cocok! Orang tua yang bijak seyogyanya akan mendukung pilihan tersebut sepenuhnya. Tetapi jika terjasi perbedaan dalam permasalahan ini makan dikembalikan kepada aturan Allah dan rasul-Nya.
Jika terjadi perbedaan pendapat antara orangtua dan anak tentang jodoh yang akan dipilih, langkah terbaik adalah masing-masing memberikan gambaran lengkap tentang pilihannya masing-masing. Lalu menimbangnya apakah sesuai dengan criteria yang Rasulullah SAW berikan apa tidak.
Kebanyakan anak-anak dijaman sekarang cenderung hanya terpaku kepada paras saja yang elok, apakah kaya atau tidak ditambahi lagi adanya ‘budaya edan’ tentang pacaran. Apabila terjadi yang demikian, maka orangtua wajib memberikan arahan, nasehat dan pengertian yang tepat gimana cara mencari dan menentukan jodoh sesuai Al Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Dan manakala seorang anak yang beriman mendapatkan hal yang demikian, tidak ada pilihan lain selain taat kepada orangtua. Taat merupakan bagian dari sikap berbhakti kepada orangtua. Menerima dengan lapang dada, ikhlas dan yakin akan kebaikan yang akan didapatkan.
Namun apabila orangtua memilihkan berdasarkan criteria yang menyimpang seperti berdasar arah angin, weton, primbon dan hal menyimpang lainnya maka wajiblah sang anak untuk tidak menaatinya.
Yang utama adalah orang tua mencarikan jodoh, lihatlah keimanannya dahulu. Demikian pula bagi sang anak, lihat dan cek keimanannya calon istri atau calon suami. Karena istri Sholihah, suami yang sholeh merupakan pakaian terindah dan nikmat terbaik dalam kehidupan ini.
Selengkapnya...