Kamis, 15 September 2011

HUKUM SHOLAT QADHA

SHALAT QADHA
Disunting oleh: Asep Rahmat Fauzi(2)

Makalah ini disampaikan atas pertanyaan saudara Rahman Fahrudi.
A. Pendahuluan
Shalat dalam Islam, mempunyai arti dan fungsi yang sangat strategis untuk pembinaan mental dan akhlaq al karimah. Karenanya shalat merupakan ibadah yang paling pokok dalam Islam. Shalat merupakan amal perbuatan yang pertama kali diperiksa sebelum amal-amal yang lain (HR. al Thabraniy). Shalat suatu amalan yang harus dilakukan secara kesinambungan. Orang hidupnya akan stabil ketika melakukan shalat secara berkesinambungan (Q.S al Ma’arij: 23). Dengan melakukan shalat berarti menyiapkan dalam diri penangkal dari berbuat yang tidak baik dalam kehidupan (Q.S. al Ankabut: 45).
Shalat pula lah yang menjadi pembeda antara orang mukmin dan orang kafir (HR. Muslim, Abu Daud dan Ahmad). Dengan memelihara shalat, seseorang bisa mendapatkan lima kemuliaan (1) dihilangkan dari penghidupan yang sempit (2) dibebaskan dari siksa kubur (3) diberikan kepadanya di hari masyhar surat amalan, dari sebelh kanannya (4) diberikan kesanggupan berlalu di atas titian dengan kecepatan kilat (5) di masukan ke dalam syurga tanpa hisab. Sebaliknya, barang siapa yang meninggalkan shalat, niscaya Allah akan menyiksanya dengan beberapa siksaan (1) dihilangkan keberkatan dari umurnya (2) dihilangkan tanda keshalihan dari mukanya (3) tidak dibalas dengan pahala amalan-amalan yang dia lakukan (4) tidak diangkat do’a-doanya ke langit (5) tidak memperoleh doa dari –orang-orang yang shalih (5) mati dalam penuh kehinaan (6) dinyalakan api jahannam di dalam kuburnya (7) dikirim ular didalam kuburnya (8) menderita kemarahan Allah swt (9) dimasukan kedalam neraka.
B. Pembahasan
Dalam mengurai mesalah ini (shalat qadha) perlu kita lihat terlebih dahulu hadits-hadits yang memang terkait dengan pembahasan. Ada beberapa hadits yang bisa menjadi bahan rujukan untuk mengurai masalah ini. Hadits-hadits tersebut antara lain:
عَن مُعَاذَةَ قَالَت سَأَلتُ عَائِشَةَ فَقُلتُ مَا بَالَ الـحَائِضُ تُقضَي الصَومُ وَلاَ تُقضَي الصَلاَةُ فَقَالَت أَحُرُورِيَّةٌ أَنتَ قُلتُ لَستُ بِحُرُورِيَّةٍ وَلَكِنيِّ أَسأَلُ قَالَت كَانَ يُصِيبَنَا ذَلِكَ فَنُؤمَرُ بِقَضَاءِ الصَومِ وَلاَ نُؤمَرُ بِقَضَاءِ الصَلاَةِ ( رواه مسلم 1: 265)
Artinya: Dari Mu’adzah, “dia bertanya kepada Aisyah r.a: apa (sebab) keadaan orang yang haidh diwajibkan meng-qadha shaum akan tetapi tidak diwajibkan mengqadha shalat. Aisyah bertanya: “Apakah kamu orang yang minta dibebaskan (dari kewajiban)? Dia menjawab: tidak, saya hanya bertanya. Aisyah menjelaskan, seperti itulah kondisi kita, kita diperintahkan meng-qadha shaum, tetapi tidak disuruh meng-qadha shalat” (H.R muslim)

عَن بُرَيدَةَ قَالَ, قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِنَّ العَهدَ الَّذِي بَينَنَا وَبَينَهُم الصَّلاَةُ فَمَن تَرَكَهَا فَقَد كَفَرَ (رواه ابن حبان 4: 305)
Artinya: Dari Buraidah, dia berkata : “Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya jaminan (yang menyelamatkan) antara kita (orang Islam) dengan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkan shalat dia kufur” (H.R. Ibnu hibban)
عَن أَبِي هُرَيرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم حِينَ قَفلٍ مِن غَزوَةِ خَيبَرٍ......وَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَقَامَ الصَّلاَةَ فَصَلىَّ بِهِم الصُبحَ فَلَمَّا قَضَى الصَلاَةَ قَالَ مَن نَسِيَ الصَلاَةَ فَليُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللهَ قَالَ ! < وَأَقِم الصَّلاَةَ لِذِكرِي > (رواه مسلم 1: 471)
Artinya: “Dari Abu Hurairah sesungghnya Rasulullah saw ketika dalam kondisi perang khaibar ……. Rasulullah saw memerintahkan BIlal adzan lalu Rasulullah saw shalat shubuh berjama’ah bersama para sahabat. Ketika sudah selesai beliau bersabda: barangsiapa lupa akan shalat, maka shalatlah ketika dia ingat akan (belum menunaikan) shalat, sebab Allah swt berfirman: dan dirikanlah shalat untuk mengingatku” (HR. Muslim)
عَن أَبِي سَعِيدٍ قَالَ حُبِسنَا يَومَ الـخَندَقِ عَنِ الصَلَوَاتِ حَتىَّ كاَنَ بَعدَ الـمَغرِبِ هَوِيًّا وَذَلِكَ قَبلَ أَن يُنَزَّلَ فِي القِتَالِ مَا نُزِلَ فَلَمَّا كَفَينَا القِتَالُ وَذَلِكَ قَولُهُ {وَكَفَى اللهُ المـُؤمِنِينَ القِتَالَ وَكاَنَ اللهُ قَوِيًّا عَزِيزًا } أَمَرَ النَِّبيُّ صلى الله عليه وسلم بِلاَلاً فَأَقَامَ الظُهرَ فَصَلاَهَا كَمَا يُصَلِّيهَا فِي وَقتِهَا ثُمَّ أَقَامَ العَصرِ فَصَلاَهَا كَمَا يُصَلِّيهَا فِي وَقتِهَا ثُمَّ أَقَامَ الـمَغرِبَ فَصَلاَهَا كَمَا يُصَلِّيهَا فِي وَقتِهَا (رواه احمد 17: 293)
Artinya: “Dari Abu sa’id, dia berkata: Perang khandaq telah menyibukan kita dari shalat. Sampai separuh waktu maghrib datang baru kelonggaran waktu datang (kondisi ini terjadi ketika belum diturunkan perintah shalat khauf), lalu nabi memerintahkan Bilal adzan dan beliau shalat berjamaah dhuhur sebagaimana biasanya dhuhur dilakukan pada waktunya. Kemudian beliau mengerjakan shalat ashar sebagaimana biasanya ashar dilakukan pada waktunya. Kemudian beliau mengerjakan shalat maghrib sebagaimana biasanya maghrib dilakukan pada waktunya.” (HR. Ahmad)

Shalat yang dilakukan oleh umat muslim merupakan salah satu ibadah mahdah (ibadah wajib yang pelaksanaannya (tatacara dan argumentasinya) bersumber kepada keterangan Rasulullah saw). Oleh sebab itu, pembahasan mengenai shalat, termasuk shalat qadha hendaklah di sandarkan kepada keterangan-keterangan yang shahih (maqbul) yang berasal dari Nabi saw.
Dalam kasus orang meninggalkan shalat ada beberapa kondisi yang bisa menjadi latar belakang orang meninggalkan shalat. Kondisi tersebut adalah: (1) meninggalkan shalat karena ada udzur (2) meninggalkan shalat karena lupa (3) meninggalkan shalat karena malas.
Untuk kasus yang pertama, ada beberapa kondisi yang masuk kategori udzur, pertama wanita haidh dan dalam kondisi peperangan. Untuk wanita haidh, berdasar keterangan hadits dari aisyah r.a di atas maka tidak ada kewajiban untuk mengganti shalat di kemudian hari setelah wanita tersebut selesai masa haidhnya. Artinya, waktu-waktu shalat yang terlewati semasa haidh tidak usah diganti setelah wanita tersebut bersuci. Sedangkan untuk kondisi yang kedua, kewajiban shalat tidaklah menjadi hilang dikarenakan kesibukan berperang. Yang menjadi berbeda hanyalah waktu pelaksanaannya. Bahkan ketika shalat khauf (pelaksanaan shalat ketika kondisi genting) dituntunkan, shalat wajib yang lima di kerjakan tetap pada waktunya walaupun dalam tatacara pelaksanaannya berdeda.
Untuk kasus kedua (shalat karena lupa), kewajiban shalat tidaklah gugur, melainkan penunaian (menyelesaikan kewajiban) dilakukan setelah ingat. Yang masuk kategori ini adalah orang yang lupa (dalam makna sebenarnya) atau pula orang yang tidur dan pingsan. Keterangan orang yang tidur bisa dirujuk kepada tulisannya Ibnul Qayyim dalam kitab as sholah. Artinya seberapa lama pun orang itu lupa, tertidur atau pun pingsan, ketika dia terbangun, sadar ataupun ingat maka kewajiban shalat itu ada. Ada pun pelaksanaannya diurutkan saja dari awal dia tidak mengerjakan shalat.
Untuk kasus ketiga, penulis harap difahami betul kondisinya. Seseorang yang meninggalkan shalat karena malas, tentulah perbuatan yang disengaja, artinya ada kesadaran dalam meninggalkannya. Sangat berbeda kondisi ketiga ini dengan kondisi yang kedua. Sehingga langkah solusi untuk kondisi ketiga ini berbeda dengan solusi untuk kondisi kedua. Memang untuk kondisi ketiga ini tidak ada kewajiban untuk meng-qadha shalat karena dia meninggalkan shalat dengan adanya kesadaran. Akan tetapi justru kondisi ketiga inilah sebuah dosa besar yang tentunya akan mendatangkan murka/adzab dari Allah swt (ataupun kondisi-kondisi orang yang meninggalkan shalat yang telah penulis paparkan dalam pembukaan). Sehingga ketika seseorang ingin memperbaiki sikap langkah pertama yang harus dilakukan adalah taubatan nasuha. Adapun langkah-langkah taubatan nasuha adalah (1) menghentikan perbuatan dosanya (meninggalkan shalat dengan sengaja) (2) mengakui perbuatan meninggalkan shalat itu adalah perbuatan dosa besar (3) melakukan amalan-amalan kebaikan (amalan pertama-tama yang dilakukan tentulah beristighfar memohon ampun kepada Allah swt dan melakukan shalat taubat) dengan berniat memperbaiki sikap buruk yang selama ini dilakukan.

C. Penutup
Istilah shalat qadha dikalangan masyarakat sangatlah beragam pemaknaanya. Sehingga berdampak kepada pelaksanaannya. penulis yakin betul setiap orang ketika melakukan sebuah amalan (ibadah) tentulah memiliki niat yang baik dan tentunya amalan tersebut diperuntukan sebagai tabungan amal yang akan menjadi bekal untuk dikehidupan yang akan datang (yaumul akhir). Akan tetapi niat baik saja tidak cukup ketika kita berbicara tentang ibadah mahdoh. Ada intrumen lain yang harus di penuhi, yaitu landasan/dalil-dalil yang bisa dijadikan pijakan/argumentasi sehingga ibadah yang kita lakukan memiliki nilai sebuah amalan yang diterima disisi Allah swt.
Terkait dengan pembahasan shalat qadha, mari kita posisikan (dengan hati yang jernih, bukan mencari legalitas di mata manusia, Karena Allah swt yang Maha mengetahui) shalat yang tertinggal itu pada kasus yang mana?? Janganlah malu atau putus asa ketika memang shalat yang tertinggal itu terjadi karena sikap malas. Tempuhlah jalan pertaubatan. Karena bertaubat merupakan sebuah upaya menghapus dosa. Begitu pula untuk kondisi yang lain, maka tunaikanlah semuanya berdasarkan keterangan-keterangan yang Rasulullah saw ajarkan. Wallahu a’lam bi shawab.


1)Disarikan dari fatwa-fatwa tarjih: Tanya Jawab Agama jilid 3 suara muhammadiyah, thn. 2004
2)Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Pimpinan Pusat Muhammadiyah
3)Pedoman Shalat, tengku Muhammad hasbi al Shiddiqiy, hlm 401

Selengkapnya...