Jumat, 20 Mei 2011

SHALAT JAMA'

SHALAT JAMA’
Shalat jama’ adalah menggabungkan dua shalat wajib dalam satu waktu. Shalat yang dapat di jama’ adalah shalat dhuhur dengan shalat ashar dan shalat maghrib dengan shalat isya’. Sedangkan shalat subuh tidak diperbolehkan shalat jama’. Jama’ di bagi menjadi dua yaitu jama’ taqdim dan jama’ takhir. Jama’ taqdim adalah menjama’ dua shalat dan di kerjakan di waktu yang pertama. yaitu menjama’ shalat dhuhur dan ashar di kerjakan diwaktu dhuhur atau menjama’ antara shalat maghrib dan isya’ dikerjakan di waktu maghrib. Dalilnya adalah hadis dibawah ini:
عن معاذ رضي الله عنه: أن النبي صلّى الله عليه وسلم كان في غزوة تبوك إذا ارْتَحَلَ بعْدَ المغربِ عَجَّلَ الَعِشَاءَ فَصَلاهَا مع المغربِ (رواه أحمد وأبو داود والترمذي وحسنه، والدارقطني والحاكم، والبيهقي وابن حبان وصححاه) ((نيل الأوطار: 213/3ومابعدها)
Dari Muadz ra. Sesungguhnya nabi SAW dalam perang tabuk, apabila beliau melakukan perjalanan setelah maghrib beliau mempercepat isya’nya sehingga ia shalat isya’ bersama dengan maghrib. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi menghasankan hadis ini, ad-Daruqudni, Hakim. Baihaqi dan Ibnu Hibban menshahihkannya)(Nailul Authar: 3:213)
Sedangkan jama’ takhir adalah menggabungkan dua shalat fardhu dan dikerjakan di shalat yang akhir. Yaitu melaksanakan shalat dhuhur dengan ashar dikerjakan di waktu ashar dan melaksanakan shalat maghrib dan isya’ dikerjakan diwaktu isya’. Dalilnya adalah hadis di bawah ini:
فَقَالَ أَنَسٌ: كَانَ رَسُوْلُ الله صلّى الله عليه وسلم إِذَا رَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيْغَ ـ تمَِيْلَ ظُهْراً ـ الشَّمْسُ، أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ، ثُمَّ نَزَلَ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا، فَإِنْ زَاغَتْ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ، ثُمَّ رَكِبَ (متفق عليه) (نيل الأوطار: 212/3)
Anas berkata: Rasulullah SAW apabila berpergian sebelum matahari condong (condong dhuhur) beliau mengakhirkan dhuhur sampai waktu ashar, kemudian beliau turun dari (kendaraan) menjama’ keduanya, kemudian jika matahari telah condong sebelum beliau melakukan perjalanan maka beliau shalat dhuhur kemudian mengendarai kendaraannya. (Muttafaq ‘Alaih) (Nailul Authar: 3:212)
Kemudian dalam hadis yang lain menyebutkan:
عَنْ مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ، أَنَّ النَبِيَّ- عَلَيْهِ السَّلاَمُ- كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوْكٍ إِذَا ارْتَحَلَ قبلَ أَن تَزِيغَ الشَّمْسُ أخَّرِ الظهرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إِلَى الْعَصْرِ، فَيُصَلِّيْهَا جَمِيْعًا، وَإِذَا ارْتَحَلَ بعدَ زَيْغِ الشَّمْسِ صَلَّى الظُّهْرَ والعَصرَ جَمِيْعًا، ثُمَّ سَارٍ، وَكاَنَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ الْمَغْرِبِ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيْهَا مَعَ العِشَاءِ، وَ إِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ عَجَّلَ الَعِشَاءَ فَصَلاَّهَا مَعَ الْمَغْرِبِ (الترمذي: كتاب الصلاة، باب: الجمع بين الصلاتين (553)
Dari Muadz bin Jabal, sesungguhnya Nabi SAW dalam perang Tabuk apabila beliau melakukan perjalanan sebelum matahari condong beliau mengakhirkan dhuhur hingga beliau menjama’nya sampai ashar hingga beliau shalat. Dan apabila beliau bepergian setelah matahari condong maka beliau menjama’ dhuhur dan ashar kemudian pergi. Dan apabil beliau bepergian sebelum maghrib maka beliau mengakhirkan maghrib hingga beliau menjama’nya dengan isya’. Dan apabila bepergian setelah maghrib maka beliau mempercepat isya’nya sehingga menjama’nya dengan shalat maghrib. (HR. Tirmidzi: Kitab Shalat; Bab menjama’ diantar dua shalat)
A. Kondisi di perbolehkannya jama’
Menjama’ shalat tidak hanya dikhususkan pada saat bepergian saja. Shalat jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan oleh orang yang mukim.
Terdapat beberapa riwayat yang membolehkan jama’ dalam keadaan tidak safar (mukim) antara lain sebagai berikut:
1. Menjama’ shalat karena turun hujan
Boleh menjama’ shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan isya’ pada saat bermukim karena hujan. Hanya saja imam Malik menhkhususkan kebolehannya pada saat malam hari.
Hal ini berdasarkan dalil di bawah ini:
a. Hadis Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah SAW menjama’ shalat dhuhur dan ashar, maghrib dan isya’ di madinah tanpa adanya rasa takut dan tanpa ada hujan. (HR. Muslim)
Dalam riwayat yang lain:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : جَمَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ ، فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلا خَوْفٍ ، قَالَ : قُلْتُ يَا أَبَا الْعَبَّاسِ : وَلِمَ فَعَلَ ذَلِكَ ؟ قَالَ : أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ. (احمد: 1: 283)
"Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ antara shalat Dhuhur dan Ashar di Madinah bukan karena bepergian juga bukan takut. Saya bertannya; Wahai Ibnu Abbas, kenapa bisa demikian? Dia menjawab: Dia tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya".
Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur untuk seseorang menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan menjama’ shalat karena hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya dalam hadis di atas hujan di jadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’ (Al-Baniy, Irwa’, III/40)

b. Dari Hisyam bin ‘Urwah bahwa ayahnya urwah bersama sa’id bin musayyab dan Abu Bakr bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bin mughirah al-makhzumi, menjama’ antara maghrib dan isya’ ketika hujan turun pada malam hari, ketika mereka menjama’ shalat, tidak ada seorangpun yang mengingkari hal itu. (HR. Al-Baihaqi)
2. Menjama’ karena ada keperluan dan karena sakit.
Dalam riwayat Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Saw menjama’ antara shalat Dhuhur dan Ashar di Madinah bukan karena bepergian juga bukan takut. Saya bertanya: Wahai Ibnu Abbas, kenapa bisa demikian? Dia menjawab: dia tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya. (HR.Muslim)
Imam Nawawi dalam kitabnya syarah Muslim V/215, dalam mengomentari hadis ini mengatakan, mayoritas ulama membolehkan menjama’kan shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh Ibnu Sirin, Asyhab, Ishaq Almarwazi dan Ibnu Mindzir, berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika mendengar hadits Nabi di atas, “beliau tidak ingin memberatkan umatnya sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah karena sakit atau musafir.
Syaikhul Islam berkata: “para buruh dan petani, jika pada waktu tertentu memberatkan mereka, misalnya air jauh dari tempat shalat. Jika mereka pergi kesana untuk bersuci, terbengkalailah pekerjaan yang di butuhkan, maka mereka boleh mengerjakan shalat pada satu waktu dengan menjama’ di antara dua shalat. (Majmu’ Fatawa (XX/458)
Kemudian bagi Orang yang sakit boleh menjama’ shalatnya yaitu orang yang merasa kesulitan mengerjakan tiap-tiap shalat tepat pada waktunya. Hal ini berdasarkan hadis Ibnu Abbas yang telah lalu. Pendapat ini yang dipegangi oleh Imam Malik dan Ahmad begitu pula Syaikhul Islam.
B. Pelaksanaan Jama'
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa menjama' shalat merupakan keringanan yang diberikan Allah swt, baik karena takut, hujan, bepergian atau tidak ada sebab apapun. Hal ini dikuatkan lagi oleh beberapa hadits berikut:

"Rasulullah SAW menjamak sholat magrib dan isya pada malam yang hujan. Dalil lainnya yaitu salah satu perbuatan sahabat, dari Nafi’: bahwa Abdullah Ibnu Umar sholat bersama para umara (pemimpin) apabila para umara tersebut menjamak shalat magrib dan isya pada waktu hujan". (HR Bukhori)

"Rasulullah SAW menjamak antara sholat zuhur dan ashar dan antara sholat magrib dan Isya bukan karena rasa takut dan hujan". (HR Muslim)
Kesimpulannya: Dalam kondisi normal, shalat harus dilaksanakan secara terpisah-pisah antara dhuhur dan ashar, dan antara maghrib dan isya', maka keringanan menjama' diberikan karena adanya sebab tertentu. Meskipun dalam beberapa hadits tidak disebutkan sebab Nabi menjama' shalat, namun sebagian ulama tetap meyakini Nabi memiliki sebab yang tidak diketahui oleh sahabat. Karena itulah, sebaiknya shalat dikerjakan secara terpisah ketika dalam kondisi normal. Hanya saja sebagaian ulama membolehkan jama' shalat tanpa sebab dengan syarat sekali-kali saja dan tidak menjadi kebiasaan.
Hadits-hadits cara menjama' shalat
أَخْبَرَنِي عَمْرُو بْنُ سَوَّادِ بْنِ الْأَسْوَدِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ إِسْمَعِيلَ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَس عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا عَجِلَ بِهِ السَّيْرُ يُؤَخِّرُ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ فَيَجْمَعُ بَيْنَهُمَا وَيُؤَخِّرُ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَجْمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْعِشَاءِ حَتَّى يَغِيبَ الشَّفَق
( أخبرنا ) : ابن أبي يحي عن حُسين بنِ عَبد اللَّه بن عبيدِ اللَّه بن عباس عن كُرَيْبٍ عن ابن عباس رضي اللَّه عنهما أنه قال : - ألاَ أُخبركم عن صلاةِ رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم في السفرِ ؟ كان إذا زالتِ الشمسُ وهو في منزله جمع بين الظهر والعصر في الزوال فإذا سافر قبلَ أن تزول الشمسُ أخّرَ الظُّهْرَ حتى يَجْمَعَ بينهما وبينَ العصر في وقْتِ العصْر

Dari Muadz bin Jabal bahwa Rasululloh SAW apabila beliau melakukan perjalanan sebelum matahari condong (masuk waktu sholat zuhur), maka beliau mengakhirkan shalat zuhur kemudian menjamaknya dengan sholat ashar pada waktu ashar, dan apabila beliau melakukan perjalanan sesudah matahari condong, beliau menjamak sholat zuhur dan ashar (pada waktu zuhur) baru kemudian beliau berangkat. Dan apabila beliau melakukan perjalanan sebelum magrib maka beliau mengakhirkan sholat magrib dan menjamaknya dengan sholat isya, dan jika beliau berangkat sesudah masuk waktu magrib, maka beliau menyegerakan sholat isya dan menjamaknya dengan sholat magrib. (Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi).

حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ فِى السَّفَرِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَدْخُلَ أَوَّلُ وَقْتِ الْعَصْرِ. 1/390
Adalah Rasulullah SAW dalam peperangan Tabuk, apabila hendak berangkat sebelum tergelincir matahari, maka beliau mengakhirkan Dzuhur hingga beliau mengumpulkannya dengan Ashar, lalu beliau melakukan dua shalat itu sekalian. Dan apabila beliau hendak berangkat setelah tergelincir matahari, maka beliau menyegerakan Ashar bersama Dzuhur dan melakukan shalat Dzuhur dan Ashar sekalian. Kemudian beliau berjalan. Dan apabila beliau hendak berangkat sebelum Maghrib maka beliau mengakhirkan Maghrib sehingga mengerjakan bersama Isya’, dan apabila beliau berangkat setelah Maghrib maka beliau menyegerakan Isya’ dan melakukan shalat Isya’ bersama Maghrib“. (HR Tirmidzi)

Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjama antara Zhuhur dan Ashar jika berada dalam perjalanan, juga menjama antara Maghrib dan Isya. (HR Bukhari)

TERTIB ANTARA DUA SHALAT YANG JAMA’
Jumhur ulama' sepakat mengenai urutan shalat yang dilakukan ketika jama' taqdim; yaitu dhuhur lalu ashar, dan maghrib lalu isya'. Mereka berbeda pendapat mengenai urutan tersebut ketika dilakukan ketika melaksanakan jama' ta'khir; apakah shalat dhuhur terlebih dahulu ataukah ashar, maghrib ataukah Isya' dulu?
Memang tidak ada dalil khusus mengenai urutan shalat yang dilakukan ketika jama' ta'khir. Berbagai hadits tidak menyebutkan urutan tersebut, kecuali hanya persepsi dan interpretasi yang terlalu jauh. Karena itu, yang benar adalah kembali kepada urutan shalat dalam kondisi normal, yaitu shalat dhuhur dulu baru ashar, maghrib dahulu baru isya'. Karena setiap shalat wajib di letakkan pada tempat yang telah di tentukan oleh syariat secara berurutan. Rasulullah saw bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي (متفق عليه)
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Bukhari-Muslim)
Wallahu a’lam bishawab

2 komentar:

  1. Assalamu,alaikum wr.wb.
    Hanya sekedar usul!
    Dalam penulisan hadits atau ayat kalau bs diperjelas menggunakan huruf latin , setelah atau sblm penulisan ayat tsb utk mempermudah pembacanya.

    Wassalamu,alaikum wr.wb.Assalamu,alaikum wr.wb.
    Hanya sekedar usul!
    Dalam penulisan hadits atau ayat kalau bs diperjelas menggunakan huruf latin , setelah atau sblm penulisan ayat tsb utk mempermudah pembacanya.

    Wassalamu,alaikum wr.wb.

    BalasHapus
  2. Insya Alloh akan kita usahakan. jazakalloh khoir atas usulnya.

    BalasHapus

Tinggalkan pesan/pertanyaan di bawah ini